Wednesday 13 December 2006

Kontribusi Politik terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Paket Kebijakan Perbaikan Investasi 2006

I. Pendahuluan

Latar Belakang
Dalam beberapa triwulan terakhir terlihat kecenderungan perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kenaikan harga BBM di dalam negeri tahun 2005 menyebabkan laju inflasi tinggi dan mendorong kenaikan suku bunga perbankan. Sementara akselerasi pertumbuhan ekonomi yang didorong kegiatan investasi perlu dilakukan karena tingkat pertumbuhan ekonomi sampai saat ini tidak memadai untuk dapat membuka lapangan kerja yang dibutuhkan demi pengurangan tingkat pengangguran, meningkatkan penghasilan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Sasaran utama kebijakan ekonomi dalam tahun 2006 dan sesudah itu adalah memacu pertumbuhan ekonomi di atas 6%.

Kenaikan harga BBM di dalam negeri adalah contoh konkrit kasus yang terjadi setelah suatu kebijakan publik diimplementasikan oleh pemerintah. Sementara kebijakan publik sendiri pada dasarnya adalah kebijakan yang dibuat oleh pihak-pihak yang memiliki wewenang politik untuk kemudian dijalankan oleh birokrasi pemerintah dalam rangka pelayanan publik untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas hidup masyarakat umum, nyatanya terdapat sebagian kebijakan publik – dalam konteks makalah ini adalah bidang ekonomi – tidak mencapai kondisi ekonomi Indonesia yang cukup signifikan untuk dapat mengakomodir pertumbuhan ekonomi.

Walau beberapa tahun setelah krisis ekonomi 1998, ekonomi Indonesia sudah menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang positif, namun hingga saat ini pertumbuhannya rata-rata per tahun relatif masih lambat dibandingkan negara tetangga yang juga terkena krisis seperti Korea Selatan dan Thailand. Salah satu penyebab adalah masih belum intensifnya kegiatan investasi, termasuk arus investasi dari luar terutama dalam bentuk penanaman modal asing (PMA). Padahal ORBA membuktikan bahwa investasi, khususnya PMA, merupakan faktor pendorong yang krusial bagi pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Terutama melihat bahwa sumber perkembangan teknologi, perubahan struktural, diversifikasi produk, dan pertumbuhan ekspor di Indonesia selama ORBA sebagian besar karena kehadiran PMA di Indonesia.

Berdasarkan gambaran singkat diatas, penulis merasa perlu membahas sedikit tentang kontribusi politik terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, dimana dalam makalah ini secara spesifik akan dibahas mengenai kebijakan publik secara umum, dan khususnya adalah kebijakan investasi. Penulis memilih topik ini dengan dasar pemikiran bahwa kebijakan publik secara umum adalah kebijakan yang dibuat pemerintah untuk kepentingan masyarakatnya, namun dalam beberapa hal, kebijakan publik tidak cukup layak untuk dikatakan ‘bijak’ karena tidak menguntungkan masyarakat umum namun hanya kalangan tertentu saja. Sedangan alasan dipilihnya kebijakan investasi sebagai spesifikasi dari kebijakan publik terutama karena sebagian besar investasi dilakukan oleh masyarakat, sehingga tugas utama pemerintah adalah mewujudkan iklim yang kondusif melalui serangkaian pembenahan kebijakan dan perbaikan institusi.

Iklim investasi yang amat kompleks menimbulkan implikasi bahwa bagaimanapun bagusnya, kebijakan investasi tidak bisa berdiri sendiri. Efektivitas dari kebijakan tersebut akan tergantung pada banyak faktor lain di luar wilayah kebijakan investasi, karena faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi keputusan seseorang untuk melakukan investasi atau membuka usaha baru di Indonesia.

Rumusan Masalah
Dalam makalah sederhana tentang kontribusi politik terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia ini, penulis memilih untuk membahas kebijakan publik yang dibuat pemerintah untuk kepentingan segenap rakyat Indonesia. Luasnya ruang lingkup kebijakan publik karena sifatnya yang mengatur segala aspek yang berkaitan dengan kepentingan umum membuat penulis membatasi pembahasan kebijakan publik dalam makalah ini dalam cakupan tentang kebijakan investasi.

Dalam halaman-halaman selanjutnya pada makalah ini, lebih spesifik akan dijelaskan mengenai Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, yang berisi serangkaian program dan tindakan dengan tujuan untuk memperbaiki iklim investasi. Paket kebijakan perbaikan iklim investasi tersebut terdiri dari program, tindakan, keluaran dan sasaran waktu (time frame) untuk pencapaiannya, juga dilengkapi dengan informasi siapa penanggung jawab dari tindakan-tindakan tersebut. Paket Kebijakan ini disusun oleh Pemerintah melalui konsultasi dengan kalangan dunia usaha dalam dan luar negeri serta masyarakat internasional yang menaruh perhatian atas kondisi iklim investasi di tanah air.

Instruksi Presiden ini diharapkan dapat memperbaiki iklim investasi di Indonesia sebagai salah satu jalan menuju pertumbuhan ekonomi Indonesia sesuai target yang telah dicanangkan.

Namun tentu saja, kita akan sulit mencapai kejernihan jika mengandalkan sudut pandang tunggal. Maka dari itu, penulis menyertakan beberapa pendapat para pakar yang kompeten sebagai perbandingan yang dapat memperjelas cara pandang kita dalam memahami Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi ini.

Secara singkat, penulis telah menyusun rumusan masalah berbentuk pertanyaan-pertanyaan yang diharapkan dapat terjawab dalam halaman-halaman berikutnya dalam makalah ini.

Rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Apa kontribusi kebijakan publik secara umum terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia?
2. Bagaimana kondisi iklim investasi Indonesia dewasa ini?
3. Bagaimana tanggapan pihak-pihak di dalam negeri mengenai Instruksi Presiden no. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi sebagai solusi memperbaiki kondisi investasi di Indonesia?
4. Bagaimana pula tanggapan dunia internasional mengenai Instruksi Presiden no. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi?

Metode Pengambilan Data
Makalah ini menggunakan cara studi pustaka sebagai metode pengambilan data yang diperlukan dalam pembuatannya. Sumber-sumber data bervariasi baik dari artikel media cetak on-line, ensiklopedi elektronik, data-data dari website pemerintah, dan lain-lain yang dianggap relevan. Adapun alasan mengapa penulis tidak menyertakan sumber literatur berbentuk buku konvensional adalah selain sumber yang sulit didapat, penulis memilih mencari data lewat sumber elektronik karena aksesnya relatif mudah, serta demi mendapatkan data dan informasi terhangat, akurat, termasuk contoh kasus yang relatif baru. Terutama karena fokus isi makalah ini adalah Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi yang resmi berlaku mulai 27 Februari 2006, yang relatif masih baru sehingga belum dibahas dalam bentuk literatur berupa buku.


II. Landasan Teori

Pertumbuhan Ekonomi
Dalam answers.com, pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai peningkatan kapasitas suatu perekonomian untuk memproduksi barang dan jasa, dibandingkan dari satu periode dengan periode yang lain. Untuk membandingkan perekonomian suatu negara dengan yang lainnya digunakan perbandingan pendapatan per kapita.

Menurut Investopedia, pertumbuhan ekonomi adalah suatu pemikiran tidak hanya terhadap peningkatan kapasitas produksi namun juga suatu peningkatan dalam kualitas hidup masyarakatnya.

Sedangkan dalam Barron’s, pertumbuhan ekonomi adalah suatu peningkatan, dari suatu periode ke periode lainnya, terhadap suatu real value barang dan jasa yang diproduksi dalam perekonomian, yang ditampilkan dalam peningkatan pendapatan per kapita.

Dari definisi-definisi diatas dapat kita simpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya menyangkut bertambahnya kuantitas barang dan jasa yang dapat diproduksi suatu perekonomian, namun juga berkaitan erat dengan kesejahteraan masyarakat, dimana dalam hal ini pendapatan per kapita menjadi tolak ukur standar yang berlaku di kebanyakan negara di dunia, meskipun ditandingi dengan kritik bahwa pendapatan per kapita yang dihitung secara rata-rata tidak dapat menjadi alat ukur yang akurat, namun pendapatan per kapita bukanlah konteks utama yang akan dibahas dalam makalah ini.

Setelah membahas tentang definisi pertumbuhan ekonomi, kita dapat melanjutkan ke landasan teori berikutnya yaitu mengenai kebijakan publik.

Kebijakan Publik
Kebijakan publik dapat diartikan sebagai keputusan-keputusan bersifat garis besar yang mengikat bagi orang banyak dan dibuat oleh pemegang otoritas publik, yaitu mereka yang menerima mandat dari publik atau khalayak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah.

Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yaitu segala yang bisa dilakukan negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Kebijakan publik menjadi penyeimbang peran negara yang berkewajiban menyediakan pelayan publik dengan hak menarik pajak dan retribusi; di sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi.

Terminologi kebijakan publik menunjuk pada serangkaian peralatan pelaksanaan yang lebih luas dari peraturan perundang-undangan, mencakup aspek anggaran dan struktur pelaksana. Siklus kebijakan publik sendiri bisa dikaitkan dengan pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Keterlibatan publik dalam tiap tahapan kebijakan bisa menjadi ukuran kepatuhan negara kepada amanat rakyat yang berdaulat atasnya.

Keterlibatan tersebut mencakup sejauh mana publik dapat mengetahui agenda kebijakan (serangkaian persoalan yang ingin diselesaikan dan prioritasnya), memberi masukan terhadap isi kebijakan publik yang akan dilahirkan, mengawasi penyimpangan pelaksanaan, dan ketersediaan mekanisme kontrol publik, yakni proses yang memungkinkan keberatan publik atas suatu kebijakan dibicarakan dan berpengaruh secara signifikan.

Kebijakan publik menunjuk pada keinginan penguasa atau pemerintah yang idealnya dalam masyarakat demokratis merupakan cerminan pendapat umum (opini publik). Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan tersebut efektif, maka diperlukan sejumlah hal:

Pertama, adanya perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan sehingga dapat diketahui publik apa yang telah diputuskan; Kedua, kebijakan ini juga harus jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; Ketiga, diperlukan adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik mengetahui apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak.

Dalam masyarakat otoriter kebijakan publik adalah keinginan penguasa semata, sehingga penjabaran di atas tidak berjalan. Tetapi dalam masyarakat demokratis, yang kerap menjadi persoalan adalah bagaimana menyerap opini publik dan membangun suatu kebijakan yang mendapat dukungan publik.

Kemampuan para pemimpin politik untuk berkomunikasi dengan masyarakat untuk menampung keinginan mereka adalah satu hal, tetapi sama pentingnya adalah kemampuan para pemimpin untuk menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu keinginan tidak bisa dipenuhi. Adalah naif untuk mengharapkan bahwa ada pemerintahan yang bisa memuaskan seluruh masyarakat setiap saat, tetapi adalah otoriter suatu pemerintahan yang tidak memperhatikan aspirasi sungguh-sungguh dan berusaha mengkomunikasikan kebijakan yang berjalan maupun yang akan dijalankannya.

Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik harus diturunkan dalam serangkaian petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku internal dalam birokrasi. Sedangkan dari sisi masyarakat, yang penting adalah adanya suatu standar pelayanan publik yang menjabarkan pada masyarakat tentang apa pelayanan yang menjadi haknya, siapa yang bisa mendapatkannya, apa persyaratannnya, juga bagaimana bentuk layanan itu. Hal ini akan mengikat pemerintah (negara) sebagai pemberi layanan dan masyarakat sebagai penerima layanan.

Fokus politik pada kebijakan publik mendekatkan kajian politik pada administrasi negara, karena satuan analisisnya adalah proses pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi dan pengawasan termasuk pelaksanaannya. Dengan mengambil fokus ini tidak menutup kemungkinan untuk menjadikan kekuatan politik atau budaya politik sebagai variabel bebas dalam upaya menjelaskan kebijakan publik tertentu sebagai variabel terikat.


Paket Kebijakan Investasi: Instruksi Presiden no. 3 Tahun 2006

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2006
TENTANG
PAKET KEBIJAKAN PERBAIKAN IKLIM INVESTASI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Dalam rangka memperbaiki iklim investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, dipandang perlu mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi:
Kepada:
1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
2. Menteri Keuangan;
3. Menteri Perdagangan;
4. Menteri Dalam Negeri;
5. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral;
6. Menteri Perhubungan;
7. Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia;
8. Menteri Perindustrian;
9. Menteri Komunikasi dan Informatika;
10. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
11. Menteri Kesehatan;
12. Menteri Kelautan dan Perikanan;
13. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas;
14. Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah;
15. Menteri Negara Lingkungan Hidup;
16. Menteri Sekretaris Negara;
17. Sekretaris Kabinet;
18. Jaksa Agung;
19. Panglima Tentara Nasional Indonesia;
20. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;
21. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal;
22. Kepala Badan Pertanahan Nasional;
23. Para Gubernur;
24. Para Bupati/Walikota.

Untuk:
PERTAMA : Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing, dalam rangka pelaksanaan Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi guna menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif.
KEDUA : Dalam mengambil langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA, berpedoman kepada program-program sebagaimana tercantum dalam lampiran Instruksi Presiden ini.
KETIGA : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mengkoordinasikan kegiatan yang dilaksanakan oleh para Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen.
KEEMPAT : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian:
1. Memantau pelaksanaan Instruksi Presiden ini dan melaporkan secara berkala kepada Presiden;
2. Membentuk Tim Pemantau, yang diketuai oleh Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Urusan Pemantauan Kebijakan Ekonomi dan sebagai wakil ketua adalah Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Departemen Dalam Negeri;
3. Mengatur tugas, keanggotaan, susunan organisasi, tata kerja dan kesekretariatan Tim Pemantau.
KELIMA : Melaksanakan Instruksi Presiden ini dengan penuh tanggung jawab.

Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan.

Dikeluarkan di Jakarta
pada tanggal 27 Pebruari 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Sumber:http://www.nakertrans.go.id/perundangan/inpres/PengantarPaketKebijakanINVESTASI.pdf.


III. Pembahasan
Kontribusi Kebijakan Publik terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Dalam sejarah kebijakan publik di Indonesia selalu menarik perhatian. Kebijakan dibuat semata untuk memperbaiki keadaan demi semata-mata kepentingan umum, namun kini kebijakan menjadi sulit dipercaya karena diduga dibuat hanya untuk memenangkan kelompok tertentu yang memiliki kepentingan lain di atas kebijakan yang dibuat. Faktanya, beberapa kebijakan publik bahkan bukan mencari solusi namun menambah persoalan baru, seolah semua cara akan menjadi halal apabila banyak yang 'menikmati'. Kenyataan ini memunculkan berbagai pertanyaan sebagai akibat atas keraguan terhadap keberpihakan kebijakan publik.

Kebijakan yang dibuat pemerintahan baru-baru ini misalnya, mengenai kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM sesungguhnya bukan materi harga barangnya naik secara ekonomis, akan tetapi lebih dikarenakan dicabutnya subsidi yang diberikan di sektor itu selama ini. Padahal subsidi BBM diberikan agar harganya murah dan terjangkau orang miskin. Kebijakan pengurangan subsidi BBM yang mengakibatkan kenaikan harga BBM menimbulkan aksi massa yang tidak kecil, sebab BBM menjadi komoditas pembangkit energi yang menggerakkan sekian banyak sendi kehidupan di masyarakat. Selain itu, kebijakan yang tidak-begitu-bijak ini tidak memberikan umpan positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia karena menjadi awal menurunnya daya beli masyarakat akibat naiknya harga barang.

Kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah dalam bidang ekonomi pada dasarnya berfokus pada tiga hal yaitu kebijakan investasi, kebijakan industri, dan kebijakan perdagangan. Kebijakan investasi berkaitan dengan dorongan pemerintah untuk menghasilkan penciptaan bisnis-bisnis baru, kebijakan industri berkaitan dengan dorongan pemerintah untuk mengembangkan produk barang dan jasa dari dunia usaha, dan kebijakan perdagangan berkaitan dengan dorongan untuk pengembangan pasarnya. Setiap kebijakan memiliki potensi untuk ber-trade-off dengan kepentingan lain, sehingga setiap kebijakan harus ditransparansikan ke masyarakat luas, agar masyarakat tidak hanya melihat efek dari trade-off itu.

Iklim Investasi Indonesia
Menurut ekonom senior Mohammad Sadli, pengaruh paling dominan pertumbuhan sektor industri bukanlah terletak pada kebijakan industri, tetapi justru pada kebijakan investasi. Iklim investasi pun harus ditunjang dengan berbagai insentif fiskal dan tindakan tegas dalam memerangi berbagai ekonomi biaya tinggi, termasuk pungutan liar.

Pertumbuhan industri dipengaruhi penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN). Di masa Orde Baru, kekuatan sistem permodalan itu juga diperkuat berbagai insentif fiskal, antara lain fasilitas pembebasan pajak (tax holiday). Selain itu, sektor industri tumbuh sekitar 10-11 persen.

Sebaliknya, saat ini pertumbuhannya melambat, dan pelaku industri dihadapkan pada berbagai kenaikan harga-harga. Ditambah lagi tidak ada kebijakan investasi yang pasti. Pelaku industri masih membutuhkan arahan pemerintah, dengan harapan yang besar akan iklim investasi yang kondusif, termasuk stabilitas perekonomian dalam negeri, terjaminnya kualitas tenaga kerja, kondisi keamanan, dan tentu saja fleksibilitas birokrasi yang juga mencakup kemudahan perizinan.

Perlu dipahami pula bahwa ujung tombak yang lebih berpengaruh dalam perkembangan industri adalah Departemen Keuangan dan Departemen Perdagangan, bukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Departemen Perindustrian. Secara riil, Mendag mengurus kebijakan ekonomi yang menguntungkan industri.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa iklim investasi mencerminkan sejumlah faktor yang berkaitan dengan lokasi tertentu yang membentuk kesempatan dan insentif bagi pemilik modal untuk melakukan usaha atau investasi secara produktif dan berkembang. Lebih konkritnya lagi, iklim usaha atau investasi yang kondusif adalah iklim yang mendorong seseorang melakukan investasi dengan biaya dan resiko serendah mungkin di satu sisi, dan bisa menghasilkan keuntungan jangka panjang setinggi mungkin, di sisi lain. Sebagai contoh, beberapa studi menunjukkan bahwa di China dan India, sebagai hasil dari perbaikan-perbaikan iklim investasi pada dekade 80-an dan 90-an yang menurunkan biaya dan risiko investasi sangat drastis, maka investasi swasta sebagai bagian dari produk domestik bruto (PDB) meningkat hampir 200 persen.

Ada sejumlah faktor yang sangat berpengaruh pada baik-tidaknya iklim berinvestasi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut tidak hanya menyangkut stabilitas politik dan sosial, tetapi juga stabilitas ekonomi, kondisi infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan), berfungsinya sektor pembiayaan dan pasar tenaga kerja (termasuk isu-isu perburuhan), regulasi dan perpajakan, birokrasi (dalam waktu dan biaya yang diciptakan), masalah good governance termasuk korupsi, konsistensi dan kepastian dalam kebijakan pemerintah yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keuntungan neto atas biaya resiko jangka panjang dari kegiatan investasi, dan hak milik mulai dari tanah sampai kontrak. Masalah Freeport dan lamanya pemerintah mengambil keputusan dalam kasus Exxon di Cepu baru-baru ini juga sangat mempengaruhi iklim berinvestasi jangka panjang di Indonesia.

Dalam laporan Bank Dunia mengenai iklim investasi, diantara faktor-faktor tersebut, stabilitas ekonomi makro, tingkat korupsi, birokrasi, dan kepastian kebijakan ekonomi merupakan empat faktor terpenting. Walaupun sedikit berbeda dalam peringkat kendala investasi antar negara, hasil survei Bank Dunia tersebut didukung oleh hasil survei tahunan mengenai daya saing negara yang dilakukan oleh The World Economic Forum (WEF) yang hasilnya ditunjukkan di dalam laporan tahunannya, The Global Competitiveness Report. Berdasarkan persentase dari responden, ternyata tiga faktor penghambat bisnis yang mendapatkan peringkat paling atas adalah berturut-turut birokrasi yang tidak efisien, infrastruktur yang buruk, dan regulasi perpajakan. Hasil survei dari JETRO mengenai faktor-faktor penghambat pertumbuhan bisnis atau investasi di sejumlah negara di Asia menunjukkan gambaran yang sedikit berbeda. Untuk Indonesia (ID), faktor paling besar adalah upah buruh yang makin mahal, disusul dengan sistem perpajakan yang sulit dan rumit.

Hubungan industrial menjadi salahsatu titik rawan daya saing perekonomian Indonesia. Masalah perburuhan, mulai dari tingkat upah yang terus meningkat akibat penerapan kebijakan upah minimum, kualitas sumber daya manusia yang rendah, termasuk rendahnya penguasaan atas teknologi, hingga hubungan industrial memang belakangan ini semakin memperburuk keunggulan komparatif Indonesia dalam tenaga kerja. Survei lPEM di tahun 2005 menunjukkan bahwa biaya untuk mengatasi masalah tenaga kerja mencapai 5% dari biaya produksi tahunan. Dari 600 responden, 12,6% mengalami perselisihan penentuan upah, 5.8% mengalami masalah jaminan sosial tenaga kerja, dan 8,4% mengalami masalah dengan serikat buruh. Walaupun pemogokan di Indonesia tidak menunjukkan peningkatan kuantitas yang drastis sejak reformasi dimulai tahun 1998 lalu tetapi risiko ketidakpastian yang ditimbulkan oleh hubungan industrial yang adversial merupakan faktor penting yang membuat daya tarik Indonesia untuk investasi menjadi rendah dibandingkan Cina dan Vietnam. Sering terjadinya pemogokan akan membuat kerugian besar bagi perusahaan-perusahaan, dan hal ini jelas akan menghilangkan niat calon investor untuk berinvestasi di Indonesia.

Masalah serius lainnya adalah peningkatan biaya melakukan bisnis yang timbul karena ekses pelaksanaan otonomi daerah. Keterbatasan anggaran dan lemahnya prioritas kebijakan menyebabkan timbulnya tekanan untuk meningkatkan penerimaan pajak dan retribusi daerah tanpa memperhitungkan daya dukung perekonomian lokal dan nasional. Pengenaan pungutan atas lalu lintas barang dan penumpang antar propinsi atau antar kabupaten hanya merupakan satu contoh. Peningkatan hambatan birokrasi perijinan dan beban retribusi baru yang diundangkan berbagai pemerintah daerah dengan alasan untuk meningkatkan penerimaan asli daerah (PAD) menimbulkan peningkatan biaya bisnis, yang berarti juga memperbesar risiko kerugian bagiinvestasi, dan merupakan lahan subur bagi praktek-praktek korupsi. Mahalnya memulai bisnis memang merupakan salah satu penyebab memburuknya iklim investasi di Indonesia. Suatu laporan dari Bank Dunia di tahun 2005 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara paling mahal, baik dalam arti biaya maupun jumlah hari dalam melakukan bisnis.

Sejumlah masalah yang telah disebut di atas mencerminkan kualitas dari kelembagaan publik di Indonesia, seperti tercantum dalam tabel 4 dibawah ini. Misalnya, dalam hal kemandirian yudisial dari pengaruh politik dari anggota-anggota pemerintah (misalnya menteri dan presiden), politikus, masyarakat, dan perusahaan, kerangka kerja legal bagi pelaku usaha untuk menangani perselisihan-perselisihan bsinis dan menolak legalitas dari tindakan-tindakan atau peraturan-peraturan pemerintah. Untuk hak-hak properti dan perlindungan kekayaan intelektual yang juga termasuk penentu krusial bagi pertumbuhan investasi, Indonesia juga masih buruk kinerjanya.

Untuk tingkat birokrasi, peringkat Indonesia sangat rendah, yang memberi kesan bahwa tingkat efisiensi birokrasi di Indonesia sangat rendah dan ini salah satu sumber penting dari iklim bisnis yang distortif di Indonesia. Faktor lainnya yang juga sangat berpengaruh dalam arti bisa merupakan insentif atau disinsentif bagi keinginan untuk melakukan bisnis atau investasi adalah pajak, dan untuk ini Indonesia relatif baik dan dalam satu tahun terakhir sedikit membaik, yang artinya secara relatif dibandingkan banyak negara lain di dalam sampel, pajak di Indonesia bukan merupakan sumber distortif yang besar terhadap iklim bisnis.

Selain itu, yang paling sulit namun paling penting menurut penulis, adalah faktor kepercayaan investor terhadap pemerintah Indonesia. Menduduki posisi lima besar negara paling korup di dunia, tentu saja mayoritas investor khawatir modal yang mereka tanamkan di Indonesia akan digerogoti tikus-tikus koruptor. Usaha gencar pemerintah untuk memberantas korupsi saat ini diharapkan dapat mendukung paket kebijakan perbaikan iklim investasi yang dikeluarkan pemerintah trimester pertama tahun ini dan dapat menjadi awal mula terciptanya iklim birokrasi yang lebih sehat sehingga investor – terutama investor asing – merasa aman menanamkan modal di Indonesia.

Paket Kebijakan Investasi sebagai Solusi
Apakah paket kebijakan investasi yang baru ini efektif, dalam arti dapat benar-benar mendongkrak investasi di Indonesia dalam, katakanlah, 2-5 tahun ke depan? Jawabannya bisa diberikan dengan dua penjelasan sebagai berikut.

Pertama, menurut laporan Bank Dunia mengenai iklim investasi, menciptakan suatu iklim investasi memerlukan suatu kebijakan investasi yang menangani tiga hal berikut: biaya, risiko, dan pembatasan bagi persaingan, yang mana pemerintah memiliki pengaruh sangat kuat. Jika pengaruh pemerintah lewat kebijakan atau perilakunya terhadap ke tiga aspek tersebut negatif, misalnya biaya usaha/investasi menjadi mahal, maka kebijakan-kebijakan tersebut telah menghilangkan/mengurangi kesempatan bagi pertumbuhan usaha-usaha baru atau perluasan kapasitas produksi dari usaha-usaha yang ada, yang artinya menghilangkan kemungkinan peningkatan investasi.

Kebijakan dan perilaku pemerintah yang dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung biaya investasi adalah mulai dari korupsi, besarnya tarif dan sistem perpajakan yang tidak kondusif, jasa-jasa publik, kebijakan perdagangan mengenai bea masuk impor, birokrasi dalam pengurusan izin, kebijakan moneter yang mempengaruhi tingkat suku bunga dan inflasi, hingga pengeluaran pemerintah untuk pembangunan atau perbaikan infrastruktur. Besarnya pengaruh dari semua ini terhadap biaya investasi tentu bervariasi menurut sektor atau jenis kegiatan ekonomi dan kondisi (terutama keuangan) perusahaan yang melakukan investasi. Bagi perusahaan-perusahaan multinasional yang biasanya memakai sumber eksternal untuk modal pembiayaan, mungkin tidak stabilnya suku bunga di dalam negeri tidak terlalu masalah. Atau, bagi perusahaan-perusahaan asing yang melakukan kegiatan ekonomi di dalam negeri yang tidak terlalu tergantung pada impor untuk bahan bakunya, mungkin besarnya bea masuk impor tidak terlalu mengganggu kegiatan mereka.

Kedua, kegiatan investasi berada di dalam suatu lingkungan bisnis yang dinamis dan sangat kompleks. Oleh karena itu, usaha pemerintah, sebaik apapun juga, untuk menciptakan investasi, atau menarik masuk PMA tidak akan berhasil tanpa mempertimbangkan lingkungan bisnis di sektor yang menjadi tujuan investasi dan konteks dari suatu pembangunan ekonomi yang lebih luas yang menciptakan ”aturan main” untuk semua kegiatan/jenis usaha dan yang mana mempengaruhi cara bisnis dan pasar bekerja.

Lingkungan di mana bisnis beroperasi dapat dibagi dalam dua macam, yakni lingkungan langsung dan lingkungan yang lebih luas. Lingkungan langsung adalah lingkungan berpengaruh secara langsung terhadap semua kegiatan usaha, yakni pasar (misalnya konsumen, tenaga kerja, keterampilan dan teknologi, material dan alat-alat produksi, lokasi, infrastruktur, modal, dan jaringan-jaringan kerja), regulasi dan birokrasi (seperti undang-undang, peraturan-peraturan, tarif pajak dan sistem perpajakan, lisensi dan perijinan, standar produk dan proses, dan perlindungan konsumer dan lingkungan), dan intervensi-intervensi yang dibiayai dana publik (seperti jasa keuangan untuk bisnis). Sementara lingkungan yang lebih luas adalah lingkungan yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap suatu kegiatan bisnis, yang terdiri dari komponen-komponen berikut: ekonomi makro (seperti kebijakan perdagangan, kebijakan industri, kebijakan sektor keuangan, dan kebijakan moneter dan fiskal), pemerintah dan politik pada tingkat nasional dan lokal (misalnya legislatif dan proses pembuatan kebijakan, judisiari, dan keamanan dan stabilitas), jasa-jasa yang diberikan oleh pemerintah (seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan, infrastruktur, utilitas dan jasa keamanan), pengaruh-pengaruh eksternal (seperti perdagangan global, bantuan luar negeri, tren dan selera masyarakat dunia, teknologi,dan informasi), sosial dan kultur (seperti demografi, selera konsumer, dan sikap terhadap bisnis), dan iklim serta lingkungan alam (misalnya sumber daya alam, cuaca, dan siklus pertanian).

Implikasi dari kenyataan di atas terhadap kebijakan investasi adalah jelas bahwa kebijakan tersebut tidak akan membawa suatu hasil yang efektif, dalam arti investasi tidak akan meningkat jika tidak didukung oleh kebijakan-kebijakan lain yang mempengaruhi komponen-komponen lain dari lingkungan usaha. Misalnya, di satu sisi, pemerintah ingin meningkatkan investasi di dalam negeri dengan memberikan insentif pajak bagi perusahaan-perusahaan baru atau perusahaan-perusahaan yang mau memperluas kapasitas produksinya, sementara, di sisi lain, pemerintah mengeluarkan kebijakan perdagangan yangmenghapuskan bea impor bagi suatu produk yang kebetulan adalah produk yang menarik bagi calon-calon investor. Atau, contoh lainnya, walaupun banyak insentif yang diberikan oleh pemerintah kepada investor, investasi tidak akan meningkat atau PMA, khususnya industri-industri yang bersifat footloose seperti elektronik dan tekstil, tidak akan memilih Indonesia sebagai tempat kegiatannya selama kondisi infrastruktur belum baik atau tingkat sumber daya manusia (SDM) di Indonesia semakin buruk relatif dibandingkan di negara-negara tetangga. Dengan kemajuan teknologi dan dalam era perdagangan bebas, faktor-faktor keunggulan kompetitif menjadi lebih penting daripada faktor-faktor keunggulan komparatif dalam mempengaruhi mobilisasi investasi lintas negara/wilayah.

Tanggapan Internasional terhadap Paket Kebijakan Investasi
Pemerintah Australia menyambut baik kebijakan ekonomi pemerintahan baru Indonesia dengan menciptakan iklim investasi yang penuh persahabatan. Hal itu memberikan harapan meningkatnya ekspor dan investasi ke Indonesia. Ekonomi dapat menjadi perekat kuat bagi kerjasama dua negara yang politik luar negerinya selalu mengalami pasang-surut ini.
Menteri Perdagangan kedua negara akan membicarakan perluasan kerja sama dan kemungkinan investasi dan perdagangan di sektor-sektor lain, seperti sektor agribisnis dan otomotif. Australia memandang Indonesia sebagai pasar bagus untuk produk-produk pertanian. Untuk itu iklim investasi di Indonesia diharapkan dapat dikondisikan untuk menarik lebih banyak investor Australia.

IV. Penutup

Kesimpulan
Secara teoritis, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas meperlukan peran investasi, baik asing maupun domestik. Melalui investasi diharapkan terjadi pertumbuhan output dan tenaga kerja dalam proses produksi. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi menjadi meningkat sehingga dapat mengurangi pengangguran dan kemiskinan.

Sejak tertimpa krisis, kinerja investasi belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Bahkan investor asing cenderung menghindari Indonesia apalagi sebagai pusat tujuan investasi. Kenyataan inilah yang menyebabkan kontribusi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi masih kecil.

Penanaman modal asing memerlukan hukum dan institusi hukum yang kondusif. Dalam hal ini kepastian hukum merupakan unsur yang sama pentingnya dengan stabilitas politik dan kesempatan ekonomi. Dalam rangka memperbaiki iklim investasi, pemerintah pada 27 Februari 2006 meluncurkan Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi yang dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006.

Agar Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi mampu mendorong investasi dan memicu pertumbuhan ekonomi di atas 6% tahun ini serta tidak sekadar daftar jawaban dari keluhan para investor, pemerintah harus segera mengambil tindakan-tindakan konkret yang memerlukan kerjasama lintas departemen untuk mencapai apa yang dicita-citakan di dalamnya, karena Paket ini tidak hanya menugasi departemen tertentu untuk melaksanakan suatu program, tetapi harus ada perubahan yang fundamental. Oleh karena itu, perlu penyelarasan berbagai aturan sektoral bagi kegiatan investasi. Pelayanan satu atap akan berhasil dalam memberikan tekanan pada persoalan lamanya waktu pengurusan investasi, apabila disertai dengan pembenahan pada sistem perizinannya.

Perbaikan iklim investasi yang didukung dengan kepastian hukum, stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan, adanya respon yang baik dari pemerintah baik pusat maupun daerah yang berwujud pada kemudahan perizinan untuk menanamkan modal, diharapkan akan memunculkan perbaikan yang signifikan dalam bidang investasi, dan mampu mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Saran
Dari uraian di atas, jelas bahwa kebijakan investasi seperti Paket Kebijakan Investasi 2006 tidak akan berarti apa-apa jika tidak didukung oleh kebijakan-kebijakan lainnya seperti kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan perdagangan luar negeri, kebijakan industrialisasi, kebijakan perburuhan, dan lainnya. Sayangnya, pengalaman Indonesia selama ini dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan ekonomi menunjukkan paling tidak dua masalah yang belum menunjukkan tanda-tanda akan membaik.

Pertama, sering kali terjadi tumpang tindih atau perbenturan antara dua (atau lebih) kebijakan, yang mencerminkan tidak adanya suatu koordinasi yang baik antara departemen/kementerian dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan mereka masing-masing. Kedua, dalam pelaksanaan suatu kebijakan, juga tidak ada koordinasi yang baik antar sub-departemen atau antara pusat dan daerah di dalam sebuah departemen yang sama yang mengeluarkan kebijakan tersebut.

Dapat dipastikan, jika dua permasalahan di atas tidak dibenahi, Paket 2006 tersebut tidak akan berhasil meningkatkan investasi secara signifikan di Indonesia. Karena, sebagian besar dari isi dari Paket tersebut jelas-jelas menunjukkan perlunya koordinasi yang baik antar departemen. Paket tersebut jelas-jelas mencerminkan bahwa BKPM tidak memonopoli masalah investasi, tetapi ada banyak departemen lain yang terlibat terutama Departemen Tenaga Kerja, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Departemen Keuangan, termasuk bea cukai.

Daftar Pustaka: Sumber Elektronik
http://www.answers.com/topic/economic-growth-investment
http://www.ekon.go.id/v2/content/view/74/2/
http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_publik
www.indodigest.com/indonesia-forum-8-3-0.html
http://www.indonesianembassy.org.uk/pidato_kenegaraan_2006.pdf.
http://www.indonesia.go.id/index.php/content/view/1129/695/
http://www.kadin-indonesia.or.id/id/doc/opini/Iklim_Investasi_Di_Indonesia_Masalah,Tantangan_Dan_Potensi.pdf.
http://www.nakertrans.go.id/perundangan/inpres/PengantarPaketKebijakanINVESTASI.pdf.
http://www.nakertrans.go.id/perundangan/inpres/inpres3_2006.pdf.
http://perpustakaan.bappenas.go.id/pls/kliping/data_access.show_file_clp?v_filename=F32394/Prospek%20dan%20ganjalan%20investasi%202007-BI.htm
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1105/08/0805.htm
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/032006/20/teropong/lainnya01.htm
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=233882&kat_id=16&kat_id1=&kat_id2
http://www.seketika.com/berita.php?idd=3362
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2005/04/18/brk,20050418-47,id.html
http://www.waspada.co.id/bisnis/tinjauan_ekonomi/artikel.php?article_id=77414
http://www.waspada.co.id/opini/artikel/artikel.php?article_id=71414

Monday 11 December 2006

An Inflatable Accident

A couple weeks ago I went to Disney Lantern Funtasy along with my family. As the sun sets, the lamps were turned on and shining brightly in form of Disney cartoon characters. There were also other games such as flying fox and inflatable slides that were so huge – you could jump around in it. It was very adventurously tempting so I decided to give it a try, although the slides, even it was inflatable, bouncy, and soft-safe looking, it was really tall – and I meant it, because eventually I was about to know that the slides is eight meters tall. I went to the ticket queue and paid twenty-five thousand rupiahs for five sliding turns.

First slide, all right. Second slide – oops, I slide a little too early and excited, and at the end of the slide, some of my right toes was bended. When I landed, my toes hit the surface of the inflatable slides. What I thought to be fine was eventually changed to painful and rather green toes. But I've still had three slide turns so I kept on playing. Again, I lined up to the slides, climb the slides’ stairs, and slide down. The third slide ended in a safe landing. I was rather anxious for the fourth slide, so when I slide and I thought that it was quite fast, I tried to hold the sliding with my ankle. Unfortunately, when I landed back, I found out that I tore my sock at the ankle part – because we had to wear socks before we play in the inflatable slides – and my skin was horribly exfoliated, so I decided to quit playing and went home.

I couldn't walk properly for a week. My friends asked me what happened to my foot and I told them that I've got an accident. Maybe they thought that I’ve been hit by a vehicle or something, so they found it really childish and funny when I told them that I had an accident while playing slides.