Wednesday 13 December 2006

Kontribusi Politik terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Paket Kebijakan Perbaikan Investasi 2006

I. Pendahuluan

Latar Belakang
Dalam beberapa triwulan terakhir terlihat kecenderungan perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kenaikan harga BBM di dalam negeri tahun 2005 menyebabkan laju inflasi tinggi dan mendorong kenaikan suku bunga perbankan. Sementara akselerasi pertumbuhan ekonomi yang didorong kegiatan investasi perlu dilakukan karena tingkat pertumbuhan ekonomi sampai saat ini tidak memadai untuk dapat membuka lapangan kerja yang dibutuhkan demi pengurangan tingkat pengangguran, meningkatkan penghasilan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Sasaran utama kebijakan ekonomi dalam tahun 2006 dan sesudah itu adalah memacu pertumbuhan ekonomi di atas 6%.

Kenaikan harga BBM di dalam negeri adalah contoh konkrit kasus yang terjadi setelah suatu kebijakan publik diimplementasikan oleh pemerintah. Sementara kebijakan publik sendiri pada dasarnya adalah kebijakan yang dibuat oleh pihak-pihak yang memiliki wewenang politik untuk kemudian dijalankan oleh birokrasi pemerintah dalam rangka pelayanan publik untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas hidup masyarakat umum, nyatanya terdapat sebagian kebijakan publik – dalam konteks makalah ini adalah bidang ekonomi – tidak mencapai kondisi ekonomi Indonesia yang cukup signifikan untuk dapat mengakomodir pertumbuhan ekonomi.

Walau beberapa tahun setelah krisis ekonomi 1998, ekonomi Indonesia sudah menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang positif, namun hingga saat ini pertumbuhannya rata-rata per tahun relatif masih lambat dibandingkan negara tetangga yang juga terkena krisis seperti Korea Selatan dan Thailand. Salah satu penyebab adalah masih belum intensifnya kegiatan investasi, termasuk arus investasi dari luar terutama dalam bentuk penanaman modal asing (PMA). Padahal ORBA membuktikan bahwa investasi, khususnya PMA, merupakan faktor pendorong yang krusial bagi pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Terutama melihat bahwa sumber perkembangan teknologi, perubahan struktural, diversifikasi produk, dan pertumbuhan ekspor di Indonesia selama ORBA sebagian besar karena kehadiran PMA di Indonesia.

Berdasarkan gambaran singkat diatas, penulis merasa perlu membahas sedikit tentang kontribusi politik terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, dimana dalam makalah ini secara spesifik akan dibahas mengenai kebijakan publik secara umum, dan khususnya adalah kebijakan investasi. Penulis memilih topik ini dengan dasar pemikiran bahwa kebijakan publik secara umum adalah kebijakan yang dibuat pemerintah untuk kepentingan masyarakatnya, namun dalam beberapa hal, kebijakan publik tidak cukup layak untuk dikatakan ‘bijak’ karena tidak menguntungkan masyarakat umum namun hanya kalangan tertentu saja. Sedangan alasan dipilihnya kebijakan investasi sebagai spesifikasi dari kebijakan publik terutama karena sebagian besar investasi dilakukan oleh masyarakat, sehingga tugas utama pemerintah adalah mewujudkan iklim yang kondusif melalui serangkaian pembenahan kebijakan dan perbaikan institusi.

Iklim investasi yang amat kompleks menimbulkan implikasi bahwa bagaimanapun bagusnya, kebijakan investasi tidak bisa berdiri sendiri. Efektivitas dari kebijakan tersebut akan tergantung pada banyak faktor lain di luar wilayah kebijakan investasi, karena faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi keputusan seseorang untuk melakukan investasi atau membuka usaha baru di Indonesia.

Rumusan Masalah
Dalam makalah sederhana tentang kontribusi politik terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia ini, penulis memilih untuk membahas kebijakan publik yang dibuat pemerintah untuk kepentingan segenap rakyat Indonesia. Luasnya ruang lingkup kebijakan publik karena sifatnya yang mengatur segala aspek yang berkaitan dengan kepentingan umum membuat penulis membatasi pembahasan kebijakan publik dalam makalah ini dalam cakupan tentang kebijakan investasi.

Dalam halaman-halaman selanjutnya pada makalah ini, lebih spesifik akan dijelaskan mengenai Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, yang berisi serangkaian program dan tindakan dengan tujuan untuk memperbaiki iklim investasi. Paket kebijakan perbaikan iklim investasi tersebut terdiri dari program, tindakan, keluaran dan sasaran waktu (time frame) untuk pencapaiannya, juga dilengkapi dengan informasi siapa penanggung jawab dari tindakan-tindakan tersebut. Paket Kebijakan ini disusun oleh Pemerintah melalui konsultasi dengan kalangan dunia usaha dalam dan luar negeri serta masyarakat internasional yang menaruh perhatian atas kondisi iklim investasi di tanah air.

Instruksi Presiden ini diharapkan dapat memperbaiki iklim investasi di Indonesia sebagai salah satu jalan menuju pertumbuhan ekonomi Indonesia sesuai target yang telah dicanangkan.

Namun tentu saja, kita akan sulit mencapai kejernihan jika mengandalkan sudut pandang tunggal. Maka dari itu, penulis menyertakan beberapa pendapat para pakar yang kompeten sebagai perbandingan yang dapat memperjelas cara pandang kita dalam memahami Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi ini.

Secara singkat, penulis telah menyusun rumusan masalah berbentuk pertanyaan-pertanyaan yang diharapkan dapat terjawab dalam halaman-halaman berikutnya dalam makalah ini.

Rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Apa kontribusi kebijakan publik secara umum terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia?
2. Bagaimana kondisi iklim investasi Indonesia dewasa ini?
3. Bagaimana tanggapan pihak-pihak di dalam negeri mengenai Instruksi Presiden no. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi sebagai solusi memperbaiki kondisi investasi di Indonesia?
4. Bagaimana pula tanggapan dunia internasional mengenai Instruksi Presiden no. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi?

Metode Pengambilan Data
Makalah ini menggunakan cara studi pustaka sebagai metode pengambilan data yang diperlukan dalam pembuatannya. Sumber-sumber data bervariasi baik dari artikel media cetak on-line, ensiklopedi elektronik, data-data dari website pemerintah, dan lain-lain yang dianggap relevan. Adapun alasan mengapa penulis tidak menyertakan sumber literatur berbentuk buku konvensional adalah selain sumber yang sulit didapat, penulis memilih mencari data lewat sumber elektronik karena aksesnya relatif mudah, serta demi mendapatkan data dan informasi terhangat, akurat, termasuk contoh kasus yang relatif baru. Terutama karena fokus isi makalah ini adalah Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi yang resmi berlaku mulai 27 Februari 2006, yang relatif masih baru sehingga belum dibahas dalam bentuk literatur berupa buku.


II. Landasan Teori

Pertumbuhan Ekonomi
Dalam answers.com, pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai peningkatan kapasitas suatu perekonomian untuk memproduksi barang dan jasa, dibandingkan dari satu periode dengan periode yang lain. Untuk membandingkan perekonomian suatu negara dengan yang lainnya digunakan perbandingan pendapatan per kapita.

Menurut Investopedia, pertumbuhan ekonomi adalah suatu pemikiran tidak hanya terhadap peningkatan kapasitas produksi namun juga suatu peningkatan dalam kualitas hidup masyarakatnya.

Sedangkan dalam Barron’s, pertumbuhan ekonomi adalah suatu peningkatan, dari suatu periode ke periode lainnya, terhadap suatu real value barang dan jasa yang diproduksi dalam perekonomian, yang ditampilkan dalam peningkatan pendapatan per kapita.

Dari definisi-definisi diatas dapat kita simpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya menyangkut bertambahnya kuantitas barang dan jasa yang dapat diproduksi suatu perekonomian, namun juga berkaitan erat dengan kesejahteraan masyarakat, dimana dalam hal ini pendapatan per kapita menjadi tolak ukur standar yang berlaku di kebanyakan negara di dunia, meskipun ditandingi dengan kritik bahwa pendapatan per kapita yang dihitung secara rata-rata tidak dapat menjadi alat ukur yang akurat, namun pendapatan per kapita bukanlah konteks utama yang akan dibahas dalam makalah ini.

Setelah membahas tentang definisi pertumbuhan ekonomi, kita dapat melanjutkan ke landasan teori berikutnya yaitu mengenai kebijakan publik.

Kebijakan Publik
Kebijakan publik dapat diartikan sebagai keputusan-keputusan bersifat garis besar yang mengikat bagi orang banyak dan dibuat oleh pemegang otoritas publik, yaitu mereka yang menerima mandat dari publik atau khalayak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah.

Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yaitu segala yang bisa dilakukan negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Kebijakan publik menjadi penyeimbang peran negara yang berkewajiban menyediakan pelayan publik dengan hak menarik pajak dan retribusi; di sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi.

Terminologi kebijakan publik menunjuk pada serangkaian peralatan pelaksanaan yang lebih luas dari peraturan perundang-undangan, mencakup aspek anggaran dan struktur pelaksana. Siklus kebijakan publik sendiri bisa dikaitkan dengan pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Keterlibatan publik dalam tiap tahapan kebijakan bisa menjadi ukuran kepatuhan negara kepada amanat rakyat yang berdaulat atasnya.

Keterlibatan tersebut mencakup sejauh mana publik dapat mengetahui agenda kebijakan (serangkaian persoalan yang ingin diselesaikan dan prioritasnya), memberi masukan terhadap isi kebijakan publik yang akan dilahirkan, mengawasi penyimpangan pelaksanaan, dan ketersediaan mekanisme kontrol publik, yakni proses yang memungkinkan keberatan publik atas suatu kebijakan dibicarakan dan berpengaruh secara signifikan.

Kebijakan publik menunjuk pada keinginan penguasa atau pemerintah yang idealnya dalam masyarakat demokratis merupakan cerminan pendapat umum (opini publik). Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan tersebut efektif, maka diperlukan sejumlah hal:

Pertama, adanya perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan sehingga dapat diketahui publik apa yang telah diputuskan; Kedua, kebijakan ini juga harus jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; Ketiga, diperlukan adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik mengetahui apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak.

Dalam masyarakat otoriter kebijakan publik adalah keinginan penguasa semata, sehingga penjabaran di atas tidak berjalan. Tetapi dalam masyarakat demokratis, yang kerap menjadi persoalan adalah bagaimana menyerap opini publik dan membangun suatu kebijakan yang mendapat dukungan publik.

Kemampuan para pemimpin politik untuk berkomunikasi dengan masyarakat untuk menampung keinginan mereka adalah satu hal, tetapi sama pentingnya adalah kemampuan para pemimpin untuk menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu keinginan tidak bisa dipenuhi. Adalah naif untuk mengharapkan bahwa ada pemerintahan yang bisa memuaskan seluruh masyarakat setiap saat, tetapi adalah otoriter suatu pemerintahan yang tidak memperhatikan aspirasi sungguh-sungguh dan berusaha mengkomunikasikan kebijakan yang berjalan maupun yang akan dijalankannya.

Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik harus diturunkan dalam serangkaian petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku internal dalam birokrasi. Sedangkan dari sisi masyarakat, yang penting adalah adanya suatu standar pelayanan publik yang menjabarkan pada masyarakat tentang apa pelayanan yang menjadi haknya, siapa yang bisa mendapatkannya, apa persyaratannnya, juga bagaimana bentuk layanan itu. Hal ini akan mengikat pemerintah (negara) sebagai pemberi layanan dan masyarakat sebagai penerima layanan.

Fokus politik pada kebijakan publik mendekatkan kajian politik pada administrasi negara, karena satuan analisisnya adalah proses pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi dan pengawasan termasuk pelaksanaannya. Dengan mengambil fokus ini tidak menutup kemungkinan untuk menjadikan kekuatan politik atau budaya politik sebagai variabel bebas dalam upaya menjelaskan kebijakan publik tertentu sebagai variabel terikat.


Paket Kebijakan Investasi: Instruksi Presiden no. 3 Tahun 2006

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2006
TENTANG
PAKET KEBIJAKAN PERBAIKAN IKLIM INVESTASI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Dalam rangka memperbaiki iklim investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, dipandang perlu mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi:
Kepada:
1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
2. Menteri Keuangan;
3. Menteri Perdagangan;
4. Menteri Dalam Negeri;
5. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral;
6. Menteri Perhubungan;
7. Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia;
8. Menteri Perindustrian;
9. Menteri Komunikasi dan Informatika;
10. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
11. Menteri Kesehatan;
12. Menteri Kelautan dan Perikanan;
13. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas;
14. Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah;
15. Menteri Negara Lingkungan Hidup;
16. Menteri Sekretaris Negara;
17. Sekretaris Kabinet;
18. Jaksa Agung;
19. Panglima Tentara Nasional Indonesia;
20. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;
21. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal;
22. Kepala Badan Pertanahan Nasional;
23. Para Gubernur;
24. Para Bupati/Walikota.

Untuk:
PERTAMA : Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing, dalam rangka pelaksanaan Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi guna menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif.
KEDUA : Dalam mengambil langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA, berpedoman kepada program-program sebagaimana tercantum dalam lampiran Instruksi Presiden ini.
KETIGA : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mengkoordinasikan kegiatan yang dilaksanakan oleh para Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen.
KEEMPAT : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian:
1. Memantau pelaksanaan Instruksi Presiden ini dan melaporkan secara berkala kepada Presiden;
2. Membentuk Tim Pemantau, yang diketuai oleh Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Urusan Pemantauan Kebijakan Ekonomi dan sebagai wakil ketua adalah Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Departemen Dalam Negeri;
3. Mengatur tugas, keanggotaan, susunan organisasi, tata kerja dan kesekretariatan Tim Pemantau.
KELIMA : Melaksanakan Instruksi Presiden ini dengan penuh tanggung jawab.

Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan.

Dikeluarkan di Jakarta
pada tanggal 27 Pebruari 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Sumber:http://www.nakertrans.go.id/perundangan/inpres/PengantarPaketKebijakanINVESTASI.pdf.


III. Pembahasan
Kontribusi Kebijakan Publik terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Dalam sejarah kebijakan publik di Indonesia selalu menarik perhatian. Kebijakan dibuat semata untuk memperbaiki keadaan demi semata-mata kepentingan umum, namun kini kebijakan menjadi sulit dipercaya karena diduga dibuat hanya untuk memenangkan kelompok tertentu yang memiliki kepentingan lain di atas kebijakan yang dibuat. Faktanya, beberapa kebijakan publik bahkan bukan mencari solusi namun menambah persoalan baru, seolah semua cara akan menjadi halal apabila banyak yang 'menikmati'. Kenyataan ini memunculkan berbagai pertanyaan sebagai akibat atas keraguan terhadap keberpihakan kebijakan publik.

Kebijakan yang dibuat pemerintahan baru-baru ini misalnya, mengenai kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM sesungguhnya bukan materi harga barangnya naik secara ekonomis, akan tetapi lebih dikarenakan dicabutnya subsidi yang diberikan di sektor itu selama ini. Padahal subsidi BBM diberikan agar harganya murah dan terjangkau orang miskin. Kebijakan pengurangan subsidi BBM yang mengakibatkan kenaikan harga BBM menimbulkan aksi massa yang tidak kecil, sebab BBM menjadi komoditas pembangkit energi yang menggerakkan sekian banyak sendi kehidupan di masyarakat. Selain itu, kebijakan yang tidak-begitu-bijak ini tidak memberikan umpan positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia karena menjadi awal menurunnya daya beli masyarakat akibat naiknya harga barang.

Kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah dalam bidang ekonomi pada dasarnya berfokus pada tiga hal yaitu kebijakan investasi, kebijakan industri, dan kebijakan perdagangan. Kebijakan investasi berkaitan dengan dorongan pemerintah untuk menghasilkan penciptaan bisnis-bisnis baru, kebijakan industri berkaitan dengan dorongan pemerintah untuk mengembangkan produk barang dan jasa dari dunia usaha, dan kebijakan perdagangan berkaitan dengan dorongan untuk pengembangan pasarnya. Setiap kebijakan memiliki potensi untuk ber-trade-off dengan kepentingan lain, sehingga setiap kebijakan harus ditransparansikan ke masyarakat luas, agar masyarakat tidak hanya melihat efek dari trade-off itu.

Iklim Investasi Indonesia
Menurut ekonom senior Mohammad Sadli, pengaruh paling dominan pertumbuhan sektor industri bukanlah terletak pada kebijakan industri, tetapi justru pada kebijakan investasi. Iklim investasi pun harus ditunjang dengan berbagai insentif fiskal dan tindakan tegas dalam memerangi berbagai ekonomi biaya tinggi, termasuk pungutan liar.

Pertumbuhan industri dipengaruhi penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN). Di masa Orde Baru, kekuatan sistem permodalan itu juga diperkuat berbagai insentif fiskal, antara lain fasilitas pembebasan pajak (tax holiday). Selain itu, sektor industri tumbuh sekitar 10-11 persen.

Sebaliknya, saat ini pertumbuhannya melambat, dan pelaku industri dihadapkan pada berbagai kenaikan harga-harga. Ditambah lagi tidak ada kebijakan investasi yang pasti. Pelaku industri masih membutuhkan arahan pemerintah, dengan harapan yang besar akan iklim investasi yang kondusif, termasuk stabilitas perekonomian dalam negeri, terjaminnya kualitas tenaga kerja, kondisi keamanan, dan tentu saja fleksibilitas birokrasi yang juga mencakup kemudahan perizinan.

Perlu dipahami pula bahwa ujung tombak yang lebih berpengaruh dalam perkembangan industri adalah Departemen Keuangan dan Departemen Perdagangan, bukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Departemen Perindustrian. Secara riil, Mendag mengurus kebijakan ekonomi yang menguntungkan industri.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa iklim investasi mencerminkan sejumlah faktor yang berkaitan dengan lokasi tertentu yang membentuk kesempatan dan insentif bagi pemilik modal untuk melakukan usaha atau investasi secara produktif dan berkembang. Lebih konkritnya lagi, iklim usaha atau investasi yang kondusif adalah iklim yang mendorong seseorang melakukan investasi dengan biaya dan resiko serendah mungkin di satu sisi, dan bisa menghasilkan keuntungan jangka panjang setinggi mungkin, di sisi lain. Sebagai contoh, beberapa studi menunjukkan bahwa di China dan India, sebagai hasil dari perbaikan-perbaikan iklim investasi pada dekade 80-an dan 90-an yang menurunkan biaya dan risiko investasi sangat drastis, maka investasi swasta sebagai bagian dari produk domestik bruto (PDB) meningkat hampir 200 persen.

Ada sejumlah faktor yang sangat berpengaruh pada baik-tidaknya iklim berinvestasi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut tidak hanya menyangkut stabilitas politik dan sosial, tetapi juga stabilitas ekonomi, kondisi infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan), berfungsinya sektor pembiayaan dan pasar tenaga kerja (termasuk isu-isu perburuhan), regulasi dan perpajakan, birokrasi (dalam waktu dan biaya yang diciptakan), masalah good governance termasuk korupsi, konsistensi dan kepastian dalam kebijakan pemerintah yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keuntungan neto atas biaya resiko jangka panjang dari kegiatan investasi, dan hak milik mulai dari tanah sampai kontrak. Masalah Freeport dan lamanya pemerintah mengambil keputusan dalam kasus Exxon di Cepu baru-baru ini juga sangat mempengaruhi iklim berinvestasi jangka panjang di Indonesia.

Dalam laporan Bank Dunia mengenai iklim investasi, diantara faktor-faktor tersebut, stabilitas ekonomi makro, tingkat korupsi, birokrasi, dan kepastian kebijakan ekonomi merupakan empat faktor terpenting. Walaupun sedikit berbeda dalam peringkat kendala investasi antar negara, hasil survei Bank Dunia tersebut didukung oleh hasil survei tahunan mengenai daya saing negara yang dilakukan oleh The World Economic Forum (WEF) yang hasilnya ditunjukkan di dalam laporan tahunannya, The Global Competitiveness Report. Berdasarkan persentase dari responden, ternyata tiga faktor penghambat bisnis yang mendapatkan peringkat paling atas adalah berturut-turut birokrasi yang tidak efisien, infrastruktur yang buruk, dan regulasi perpajakan. Hasil survei dari JETRO mengenai faktor-faktor penghambat pertumbuhan bisnis atau investasi di sejumlah negara di Asia menunjukkan gambaran yang sedikit berbeda. Untuk Indonesia (ID), faktor paling besar adalah upah buruh yang makin mahal, disusul dengan sistem perpajakan yang sulit dan rumit.

Hubungan industrial menjadi salahsatu titik rawan daya saing perekonomian Indonesia. Masalah perburuhan, mulai dari tingkat upah yang terus meningkat akibat penerapan kebijakan upah minimum, kualitas sumber daya manusia yang rendah, termasuk rendahnya penguasaan atas teknologi, hingga hubungan industrial memang belakangan ini semakin memperburuk keunggulan komparatif Indonesia dalam tenaga kerja. Survei lPEM di tahun 2005 menunjukkan bahwa biaya untuk mengatasi masalah tenaga kerja mencapai 5% dari biaya produksi tahunan. Dari 600 responden, 12,6% mengalami perselisihan penentuan upah, 5.8% mengalami masalah jaminan sosial tenaga kerja, dan 8,4% mengalami masalah dengan serikat buruh. Walaupun pemogokan di Indonesia tidak menunjukkan peningkatan kuantitas yang drastis sejak reformasi dimulai tahun 1998 lalu tetapi risiko ketidakpastian yang ditimbulkan oleh hubungan industrial yang adversial merupakan faktor penting yang membuat daya tarik Indonesia untuk investasi menjadi rendah dibandingkan Cina dan Vietnam. Sering terjadinya pemogokan akan membuat kerugian besar bagi perusahaan-perusahaan, dan hal ini jelas akan menghilangkan niat calon investor untuk berinvestasi di Indonesia.

Masalah serius lainnya adalah peningkatan biaya melakukan bisnis yang timbul karena ekses pelaksanaan otonomi daerah. Keterbatasan anggaran dan lemahnya prioritas kebijakan menyebabkan timbulnya tekanan untuk meningkatkan penerimaan pajak dan retribusi daerah tanpa memperhitungkan daya dukung perekonomian lokal dan nasional. Pengenaan pungutan atas lalu lintas barang dan penumpang antar propinsi atau antar kabupaten hanya merupakan satu contoh. Peningkatan hambatan birokrasi perijinan dan beban retribusi baru yang diundangkan berbagai pemerintah daerah dengan alasan untuk meningkatkan penerimaan asli daerah (PAD) menimbulkan peningkatan biaya bisnis, yang berarti juga memperbesar risiko kerugian bagiinvestasi, dan merupakan lahan subur bagi praktek-praktek korupsi. Mahalnya memulai bisnis memang merupakan salah satu penyebab memburuknya iklim investasi di Indonesia. Suatu laporan dari Bank Dunia di tahun 2005 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara paling mahal, baik dalam arti biaya maupun jumlah hari dalam melakukan bisnis.

Sejumlah masalah yang telah disebut di atas mencerminkan kualitas dari kelembagaan publik di Indonesia, seperti tercantum dalam tabel 4 dibawah ini. Misalnya, dalam hal kemandirian yudisial dari pengaruh politik dari anggota-anggota pemerintah (misalnya menteri dan presiden), politikus, masyarakat, dan perusahaan, kerangka kerja legal bagi pelaku usaha untuk menangani perselisihan-perselisihan bsinis dan menolak legalitas dari tindakan-tindakan atau peraturan-peraturan pemerintah. Untuk hak-hak properti dan perlindungan kekayaan intelektual yang juga termasuk penentu krusial bagi pertumbuhan investasi, Indonesia juga masih buruk kinerjanya.

Untuk tingkat birokrasi, peringkat Indonesia sangat rendah, yang memberi kesan bahwa tingkat efisiensi birokrasi di Indonesia sangat rendah dan ini salah satu sumber penting dari iklim bisnis yang distortif di Indonesia. Faktor lainnya yang juga sangat berpengaruh dalam arti bisa merupakan insentif atau disinsentif bagi keinginan untuk melakukan bisnis atau investasi adalah pajak, dan untuk ini Indonesia relatif baik dan dalam satu tahun terakhir sedikit membaik, yang artinya secara relatif dibandingkan banyak negara lain di dalam sampel, pajak di Indonesia bukan merupakan sumber distortif yang besar terhadap iklim bisnis.

Selain itu, yang paling sulit namun paling penting menurut penulis, adalah faktor kepercayaan investor terhadap pemerintah Indonesia. Menduduki posisi lima besar negara paling korup di dunia, tentu saja mayoritas investor khawatir modal yang mereka tanamkan di Indonesia akan digerogoti tikus-tikus koruptor. Usaha gencar pemerintah untuk memberantas korupsi saat ini diharapkan dapat mendukung paket kebijakan perbaikan iklim investasi yang dikeluarkan pemerintah trimester pertama tahun ini dan dapat menjadi awal mula terciptanya iklim birokrasi yang lebih sehat sehingga investor – terutama investor asing – merasa aman menanamkan modal di Indonesia.

Paket Kebijakan Investasi sebagai Solusi
Apakah paket kebijakan investasi yang baru ini efektif, dalam arti dapat benar-benar mendongkrak investasi di Indonesia dalam, katakanlah, 2-5 tahun ke depan? Jawabannya bisa diberikan dengan dua penjelasan sebagai berikut.

Pertama, menurut laporan Bank Dunia mengenai iklim investasi, menciptakan suatu iklim investasi memerlukan suatu kebijakan investasi yang menangani tiga hal berikut: biaya, risiko, dan pembatasan bagi persaingan, yang mana pemerintah memiliki pengaruh sangat kuat. Jika pengaruh pemerintah lewat kebijakan atau perilakunya terhadap ke tiga aspek tersebut negatif, misalnya biaya usaha/investasi menjadi mahal, maka kebijakan-kebijakan tersebut telah menghilangkan/mengurangi kesempatan bagi pertumbuhan usaha-usaha baru atau perluasan kapasitas produksi dari usaha-usaha yang ada, yang artinya menghilangkan kemungkinan peningkatan investasi.

Kebijakan dan perilaku pemerintah yang dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung biaya investasi adalah mulai dari korupsi, besarnya tarif dan sistem perpajakan yang tidak kondusif, jasa-jasa publik, kebijakan perdagangan mengenai bea masuk impor, birokrasi dalam pengurusan izin, kebijakan moneter yang mempengaruhi tingkat suku bunga dan inflasi, hingga pengeluaran pemerintah untuk pembangunan atau perbaikan infrastruktur. Besarnya pengaruh dari semua ini terhadap biaya investasi tentu bervariasi menurut sektor atau jenis kegiatan ekonomi dan kondisi (terutama keuangan) perusahaan yang melakukan investasi. Bagi perusahaan-perusahaan multinasional yang biasanya memakai sumber eksternal untuk modal pembiayaan, mungkin tidak stabilnya suku bunga di dalam negeri tidak terlalu masalah. Atau, bagi perusahaan-perusahaan asing yang melakukan kegiatan ekonomi di dalam negeri yang tidak terlalu tergantung pada impor untuk bahan bakunya, mungkin besarnya bea masuk impor tidak terlalu mengganggu kegiatan mereka.

Kedua, kegiatan investasi berada di dalam suatu lingkungan bisnis yang dinamis dan sangat kompleks. Oleh karena itu, usaha pemerintah, sebaik apapun juga, untuk menciptakan investasi, atau menarik masuk PMA tidak akan berhasil tanpa mempertimbangkan lingkungan bisnis di sektor yang menjadi tujuan investasi dan konteks dari suatu pembangunan ekonomi yang lebih luas yang menciptakan ”aturan main” untuk semua kegiatan/jenis usaha dan yang mana mempengaruhi cara bisnis dan pasar bekerja.

Lingkungan di mana bisnis beroperasi dapat dibagi dalam dua macam, yakni lingkungan langsung dan lingkungan yang lebih luas. Lingkungan langsung adalah lingkungan berpengaruh secara langsung terhadap semua kegiatan usaha, yakni pasar (misalnya konsumen, tenaga kerja, keterampilan dan teknologi, material dan alat-alat produksi, lokasi, infrastruktur, modal, dan jaringan-jaringan kerja), regulasi dan birokrasi (seperti undang-undang, peraturan-peraturan, tarif pajak dan sistem perpajakan, lisensi dan perijinan, standar produk dan proses, dan perlindungan konsumer dan lingkungan), dan intervensi-intervensi yang dibiayai dana publik (seperti jasa keuangan untuk bisnis). Sementara lingkungan yang lebih luas adalah lingkungan yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap suatu kegiatan bisnis, yang terdiri dari komponen-komponen berikut: ekonomi makro (seperti kebijakan perdagangan, kebijakan industri, kebijakan sektor keuangan, dan kebijakan moneter dan fiskal), pemerintah dan politik pada tingkat nasional dan lokal (misalnya legislatif dan proses pembuatan kebijakan, judisiari, dan keamanan dan stabilitas), jasa-jasa yang diberikan oleh pemerintah (seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan, infrastruktur, utilitas dan jasa keamanan), pengaruh-pengaruh eksternal (seperti perdagangan global, bantuan luar negeri, tren dan selera masyarakat dunia, teknologi,dan informasi), sosial dan kultur (seperti demografi, selera konsumer, dan sikap terhadap bisnis), dan iklim serta lingkungan alam (misalnya sumber daya alam, cuaca, dan siklus pertanian).

Implikasi dari kenyataan di atas terhadap kebijakan investasi adalah jelas bahwa kebijakan tersebut tidak akan membawa suatu hasil yang efektif, dalam arti investasi tidak akan meningkat jika tidak didukung oleh kebijakan-kebijakan lain yang mempengaruhi komponen-komponen lain dari lingkungan usaha. Misalnya, di satu sisi, pemerintah ingin meningkatkan investasi di dalam negeri dengan memberikan insentif pajak bagi perusahaan-perusahaan baru atau perusahaan-perusahaan yang mau memperluas kapasitas produksinya, sementara, di sisi lain, pemerintah mengeluarkan kebijakan perdagangan yangmenghapuskan bea impor bagi suatu produk yang kebetulan adalah produk yang menarik bagi calon-calon investor. Atau, contoh lainnya, walaupun banyak insentif yang diberikan oleh pemerintah kepada investor, investasi tidak akan meningkat atau PMA, khususnya industri-industri yang bersifat footloose seperti elektronik dan tekstil, tidak akan memilih Indonesia sebagai tempat kegiatannya selama kondisi infrastruktur belum baik atau tingkat sumber daya manusia (SDM) di Indonesia semakin buruk relatif dibandingkan di negara-negara tetangga. Dengan kemajuan teknologi dan dalam era perdagangan bebas, faktor-faktor keunggulan kompetitif menjadi lebih penting daripada faktor-faktor keunggulan komparatif dalam mempengaruhi mobilisasi investasi lintas negara/wilayah.

Tanggapan Internasional terhadap Paket Kebijakan Investasi
Pemerintah Australia menyambut baik kebijakan ekonomi pemerintahan baru Indonesia dengan menciptakan iklim investasi yang penuh persahabatan. Hal itu memberikan harapan meningkatnya ekspor dan investasi ke Indonesia. Ekonomi dapat menjadi perekat kuat bagi kerjasama dua negara yang politik luar negerinya selalu mengalami pasang-surut ini.
Menteri Perdagangan kedua negara akan membicarakan perluasan kerja sama dan kemungkinan investasi dan perdagangan di sektor-sektor lain, seperti sektor agribisnis dan otomotif. Australia memandang Indonesia sebagai pasar bagus untuk produk-produk pertanian. Untuk itu iklim investasi di Indonesia diharapkan dapat dikondisikan untuk menarik lebih banyak investor Australia.

IV. Penutup

Kesimpulan
Secara teoritis, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas meperlukan peran investasi, baik asing maupun domestik. Melalui investasi diharapkan terjadi pertumbuhan output dan tenaga kerja dalam proses produksi. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi menjadi meningkat sehingga dapat mengurangi pengangguran dan kemiskinan.

Sejak tertimpa krisis, kinerja investasi belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Bahkan investor asing cenderung menghindari Indonesia apalagi sebagai pusat tujuan investasi. Kenyataan inilah yang menyebabkan kontribusi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi masih kecil.

Penanaman modal asing memerlukan hukum dan institusi hukum yang kondusif. Dalam hal ini kepastian hukum merupakan unsur yang sama pentingnya dengan stabilitas politik dan kesempatan ekonomi. Dalam rangka memperbaiki iklim investasi, pemerintah pada 27 Februari 2006 meluncurkan Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi yang dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006.

Agar Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi mampu mendorong investasi dan memicu pertumbuhan ekonomi di atas 6% tahun ini serta tidak sekadar daftar jawaban dari keluhan para investor, pemerintah harus segera mengambil tindakan-tindakan konkret yang memerlukan kerjasama lintas departemen untuk mencapai apa yang dicita-citakan di dalamnya, karena Paket ini tidak hanya menugasi departemen tertentu untuk melaksanakan suatu program, tetapi harus ada perubahan yang fundamental. Oleh karena itu, perlu penyelarasan berbagai aturan sektoral bagi kegiatan investasi. Pelayanan satu atap akan berhasil dalam memberikan tekanan pada persoalan lamanya waktu pengurusan investasi, apabila disertai dengan pembenahan pada sistem perizinannya.

Perbaikan iklim investasi yang didukung dengan kepastian hukum, stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan, adanya respon yang baik dari pemerintah baik pusat maupun daerah yang berwujud pada kemudahan perizinan untuk menanamkan modal, diharapkan akan memunculkan perbaikan yang signifikan dalam bidang investasi, dan mampu mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Saran
Dari uraian di atas, jelas bahwa kebijakan investasi seperti Paket Kebijakan Investasi 2006 tidak akan berarti apa-apa jika tidak didukung oleh kebijakan-kebijakan lainnya seperti kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan perdagangan luar negeri, kebijakan industrialisasi, kebijakan perburuhan, dan lainnya. Sayangnya, pengalaman Indonesia selama ini dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan ekonomi menunjukkan paling tidak dua masalah yang belum menunjukkan tanda-tanda akan membaik.

Pertama, sering kali terjadi tumpang tindih atau perbenturan antara dua (atau lebih) kebijakan, yang mencerminkan tidak adanya suatu koordinasi yang baik antara departemen/kementerian dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan mereka masing-masing. Kedua, dalam pelaksanaan suatu kebijakan, juga tidak ada koordinasi yang baik antar sub-departemen atau antara pusat dan daerah di dalam sebuah departemen yang sama yang mengeluarkan kebijakan tersebut.

Dapat dipastikan, jika dua permasalahan di atas tidak dibenahi, Paket 2006 tersebut tidak akan berhasil meningkatkan investasi secara signifikan di Indonesia. Karena, sebagian besar dari isi dari Paket tersebut jelas-jelas menunjukkan perlunya koordinasi yang baik antar departemen. Paket tersebut jelas-jelas mencerminkan bahwa BKPM tidak memonopoli masalah investasi, tetapi ada banyak departemen lain yang terlibat terutama Departemen Tenaga Kerja, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Departemen Keuangan, termasuk bea cukai.

Daftar Pustaka: Sumber Elektronik
http://www.answers.com/topic/economic-growth-investment
http://www.ekon.go.id/v2/content/view/74/2/
http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_publik
www.indodigest.com/indonesia-forum-8-3-0.html
http://www.indonesianembassy.org.uk/pidato_kenegaraan_2006.pdf.
http://www.indonesia.go.id/index.php/content/view/1129/695/
http://www.kadin-indonesia.or.id/id/doc/opini/Iklim_Investasi_Di_Indonesia_Masalah,Tantangan_Dan_Potensi.pdf.
http://www.nakertrans.go.id/perundangan/inpres/PengantarPaketKebijakanINVESTASI.pdf.
http://www.nakertrans.go.id/perundangan/inpres/inpres3_2006.pdf.
http://perpustakaan.bappenas.go.id/pls/kliping/data_access.show_file_clp?v_filename=F32394/Prospek%20dan%20ganjalan%20investasi%202007-BI.htm
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1105/08/0805.htm
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/032006/20/teropong/lainnya01.htm
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=233882&kat_id=16&kat_id1=&kat_id2
http://www.seketika.com/berita.php?idd=3362
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2005/04/18/brk,20050418-47,id.html
http://www.waspada.co.id/bisnis/tinjauan_ekonomi/artikel.php?article_id=77414
http://www.waspada.co.id/opini/artikel/artikel.php?article_id=71414

Monday 11 December 2006

An Inflatable Accident

A couple weeks ago I went to Disney Lantern Funtasy along with my family. As the sun sets, the lamps were turned on and shining brightly in form of Disney cartoon characters. There were also other games such as flying fox and inflatable slides that were so huge – you could jump around in it. It was very adventurously tempting so I decided to give it a try, although the slides, even it was inflatable, bouncy, and soft-safe looking, it was really tall – and I meant it, because eventually I was about to know that the slides is eight meters tall. I went to the ticket queue and paid twenty-five thousand rupiahs for five sliding turns.

First slide, all right. Second slide – oops, I slide a little too early and excited, and at the end of the slide, some of my right toes was bended. When I landed, my toes hit the surface of the inflatable slides. What I thought to be fine was eventually changed to painful and rather green toes. But I've still had three slide turns so I kept on playing. Again, I lined up to the slides, climb the slides’ stairs, and slide down. The third slide ended in a safe landing. I was rather anxious for the fourth slide, so when I slide and I thought that it was quite fast, I tried to hold the sliding with my ankle. Unfortunately, when I landed back, I found out that I tore my sock at the ankle part – because we had to wear socks before we play in the inflatable slides – and my skin was horribly exfoliated, so I decided to quit playing and went home.

I couldn't walk properly for a week. My friends asked me what happened to my foot and I told them that I've got an accident. Maybe they thought that I’ve been hit by a vehicle or something, so they found it really childish and funny when I told them that I had an accident while playing slides.

Tuesday 31 October 2006

UTS Sistem Politik Indonesia

1. a. Jelaskan pengertian sistem serta berikan contoh sistem yang telah anda kenali.
Jawab:
Kata sistem berasal dari bahasa Latin (systÄ“ma) dan bahasa Yunani (sustÄ“ma). Dalam pengertian paling umum, sistem adalah sekumpulan objek yang memiliki keterhubungan satu sama lainnya. Sistem pada dasarnya memiliki dua makna; yaitu sistem sebagai method (metode atau cara dengan mekanisme yang berpola dan konsisten) dan sistem sebagai entity (entitas – suatu wujud keterikatan yang terdiri dari berbagai unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain dalam suatu kesatuan dan bergerak bersama secara keseluruhan untuk mencapai suatu tujuan). Dalam kenyataannya, dalam suatu sistem bisa saja terdapat beberapa sistem kecil (sub systems, secondary systems).

Sistem dapat ditemukan dalam semua aspek kehidupan, sehingga contohnya dapat diambil dari hal-hal kecil sekalipun. Objek sederhana seperti cangkir, misalnya, juga merupakan sebuah sistem yang terbuat dari bahan tertentu (misalnya tanah liat) yang dibuat dalam bentuk tertentu (relatif kecil, memiliki pegangan di pinggirnya, dengan permukaan yang dihias), lalu diproses sehingga dapat digunakan untuk suatu fungsi tertentu (menjadi wadah minuman). Cangkir juga menjadi sebuah sub-sistem dalam ruang lingkup yang lebih besar, misalnya dalam acara minum teh.

b. Sebutkan unsur-unsur sistem.
Jawab:
Pada prinsipnya, setiap sistem selalu terdiri atas empat unsur:
• Objek. Dapat berupa bagian, elemen, maupun variabel; namun bentuknya tergantung pada sifat suatu sistem dimana objek tersebut berada – dapat berupa benda fisik, abstrak, maupun keduanya.
• Atribut. Menjadi unsur penentu kualitas atau sifat kepemilikan antara sistem dengan objek.
• Hubungan internal. Merupakan unsur yang berperan di antara objek-objek dalam sistem.
• Lingkungan. Merupakan unsur tempat di mana sistem berada.

c. Jelaskan apa tujuan sistem.
Jawab:
Secara umum, sistem bertujuan mencapai suatu keteraturan antar sub-sistem sebagai objek yang diatur, baik dalam hubungan internal maupun dengan lingkungan tempat dimana suatu sistem berada dan diterapkan, sehingga tercapai hasil yang diinginkan oleh setiap sistem secara khusus.

d. Sebutkan dan jelaskan dengan rinci jenis-jenis sistem.
Jawab:
Terdapat banyak cara memilah sistem dalam berbagai kategori. Umumnya kita mengenal sistem terbuka, dimana objek-objek dalam sistem dapat dipengaruhi faktor lingkungan luar, dan sistem tertutup sebagai kebalikan dari sistem terbuka. Kenyataannya, kebanyakan sistem memiliki hubungan variabel dengan sekelilingnya (dynamic systems), sehingga kita dapat pula menggolongkan sistem sebagai berikut:

• Sistem fisik (physical system) atau termodinamika (termodynamic system); merupakan sistem dengan objek berupa energi dan benda mati. Misalnya sistem informasi yang melibatkan teknologi komputer.
• Sistem konsep (conceptual system); merupakan produk abstrak dari pemikiran yang mencetuskan ide sebagai awal suatu desain atau penemuan. Contohnya adalah program komputer sebagai perangkat lunak yang berasal dari pengembangan konsep dan ide.
• Sistem kehidupan (living system); merujuk pada suatu organisme, organisme sebagai bagian dari suatu kelompok organisme, kelompok organisme yang saling berinteraksi, atau interaksi kelompok organisme dengan unsur-unsur dalam lingkungannya. Konsep ini menjadi objek kajian utama dalam Biologi.
• Sistem manusia (human system); ialah sistem tentang manusia sebagai objek utama dalam Antropologi dan Sosiologi, sekaligus sub-sistem dalam sistem kehidupan yang dikaji dalam Biologi.

Sistem dapat pula menjadi seperangkat aturan untuk mengatur suatu perilaku atau kelompok, misalnya hukum sebagai sistem yang mengatur perilaku hidup bermasyarakat. Namun secara praktis, belum ada penggolongan umum terhadap jenis-jenis sistem yang dapat diterima secara luas.

2. Jelaskan pengertian Politik, Sistem Politik, dan Sistem Politik Indonesia.
Jawab:
Politik berasal dari kata Polis yang berarti negara kota. Dalam perkembangannya, kata tersebut menjadi akar kata untuk beragam istilah dalam bahasa Inggris seperti polity, politic, politics, political, politician, police, dan policy. Terdapat banyak pengertian politik menurut para ahli, namun salah satu yang paling klasik adalah menurut Aristoteles, yang menyatakan bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Dalam pembukaan buku Politics yang ditulisnya, Aristoteles, seperti dikutip Robert A. Dahl (dalam Rusadi: 1989, 10-11) menyebutkan,
“... Wherever we find politics we encounter some special relationship among the human being living together, a relationship variously called ‘rule’, ‘authority’, or ‘power’.”
Sebagai ilmu dan seni untuk meraih kekuasaan baik konstitusional maupun nonkonstitusional, politik menjadi proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang diantaranya berwujud proses pembuatan keputusan khususnya dalam negara.

Sementara dalam perspektif sistem, sistem politik adalah subsistem dari sistem sosial. Sebagai suatu sistem, sistem politik merupakan entitas yang terdiri dari berbagai komponen yang saling berinteraksi dan bekerjasama secara organisasional untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem politik dapat juga dikatakan sebagai struktur kekuasaan politik dan mekanisme kelembagaan yang mengendalikannya.

Berdasarkan penjelasan singkat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Sistem Politik Indonesia diartikan sebagai Sistem Politik yang berlaku di Indonesia – dengan “Indonesia” sebagai penanda sifat dan kekhasan bagi sistem politik, serta memuat pula landasan rohaniah bangsa, falsafah negara, doktrin politik, ideologi politik, dan sistem nilai. Selain itu, istilah Sistem Politik Indonesia memiliki cakupan dimensi waktu sepanjang eksistensinya dan bukan dalam suatu periode tertentu saja, sehingga penafsirannya lebih luas, tidak temporer dan berbeda-beda.


3. Terdapat beberapa pendekatan dalam mempelajari kehidupan politik, sebutkan dan jelaskan setiap pendekatan tersebut dengan mendalam.
Jawab:
Pendekatan yang paling sesuai untuk menganalisis sistem politik adalah pendekatan sistem (system approach). Terdapat teori sistem umum (general systems theory) yang kemudian dapat dijabarkan menjadi pendekatan analisa sistem (system analysis approach) yang juga dikenal sebagai pendekatan input-output, dan pendekatan struktural-fungsional (structural-functional approach). Bersamaan dengan perkembangan pendekatan-pendekatan tersebut, muncul pendekatan baru yang disebut pendekatan perilaku (behavioural approach) dengan alirannya yang disebut aliran perilaku (behaviouralism).

Teori Sistem-sistem
Teori sistem-sistem dalam ilmu politik adalah sudut pandang yang sangat abstrak dan mekanistik terhadap politik. Adaptasi dari teori sistem ke dalam ilmu politik pertama kali dicetuskan oleh David Easton (1953). Secara ringkas, pendekatan perilaku yang diterapkan Easton mengusulkan bahwa suatu sistem politik dapat dilihat sebagai suatu sistem yang memiliki batasan dan senantiasa berubah dalam tahap-tahap pengambilan keputusan.

Easton berkeinginan untuk menjadikan politik sebagai ilmu pengetahuan, sehingga ia membuat model yang menjelaskan keteraturan dalam pola-pola dan proses-proses dalam kehidupan politik secara umum. Dalam pandangannya, level abstraksi yang paling tinggi dapat memungkinkan generalisasi ilmiah terhadap politik, sehingga politik haruslah dilihat secara keseluruhan, bukan sebagai sekumpulan masalah berbeda yang harus diselesaikan.

Teorinya adalah sebentuk pernyataan terhadap apa yang membuat sistem politik dapat beradaptasi, bertahan hidup, bereproduksi, dan berubah. Easton memaparkan politik dalam perubahan terus-menerus yang konstan, dan dengan kata lain menolak ide “equilibrium”. Lebih dari itu, ia menolak ide bahwa politik dapat dilihat dari berbagai tingkat analisis. Abstraksinya dapat digunakan untuk setiap kelompok dan permintaan, setiap saat.

Maka dapat disimpulkan bahwa Teori Sistem Umum ini lebih berguna dalam cakupan permasalahan makroanalisis alih-alih mikroanalisis.
Berikut adalah model pendekatan yang diciptakan Easton.

Pertama:
Dalam suatu sistem politik akan muncul “demand” (permintaan) untuk suatu “output” (hasil), dan pihak-pihak tertentu baik perseorangan maupun kelompok yang mendukung permintaan-permintaan tersebut.
Kedua:
Permintaan-permintaan dan pihak-pihak akan bersaing (baca: diproses di dalam sistem), yang akan memberi jalan pada pengambilan keputusan.
Ketiga:
Ketika suatu keputusan telah dibuat (misalnya suatu Undang-Undang), keputusan itu akan berinteraksi dengan lingkungannya.
Keempat:
Ketika aturan baru berinteraksi dengan lingkungannya, aturan tersebut akan memunculkan permintaan baru dan/atau pihak-pihak yang menentangnya (feedback).
Kelima:
Siklus akan dimulai kembali dari tahap pertama.

Jika sistem berfungsi seperti dalam penjelasan diatas, maka akan tercipta sistem politik yang stabil. Sedangkan jika tidak demikian, maka akan tercipta sistem politik yang disfungsional.

Terdapat beberapa kritik mengenai teori ini, diantaranya teori ini tidak mengindahkan konteks spesifik. Ilmu politik kontemporer cenderung menciptakan teori umum yang mengacu pada permasalahan kontekstual. Teori ini mengedepankan stabilitas, sehingga tidak mampu menjelaskan kerusakan atau konflik dalam sistem, juga karena penolakannya terhadap segala kecelakaan atau input luar yang mengganggu cara kerja sistem, dan terlalu mekanistik sehingga tidak mengindahkan variasi dan perbedaan sistem – dengan kata lain teori ini memandang bahwa sistem politik berdiri sendiri, terisolasi, dan stabil tanpa adanya saingan politik yang signifikan.

Teori Analisa Sistem
Disebut juga Input-Output Analysis dalam Systems of Political Science karya Oran R. Young, teori analisa sistem muncul sebagai pendekatan sistemik kedua oleh David Easton setelah teori sistem umum (general systems theory), sehingga kedua teori ini memiliki keterhubungan yang substansial. Namun teori analisa sistem mengadopsi beberapa posisi spesifik dari beberapa permasalahan yang belum terselesaikan dalam teori sistem umum. Teori analisa sistem berfokus pada sistem sebagai unit dasar analisis dan dalam intra serta inter sistem perilaku terhadap beragam sistem sebagai daerah penelitiannya, serta memperlakukan semua sistem politik sebagai sistem yang adaptif dan terbuka. Sistem analitik menjadi abstraksi yang terfokus dalam elemen tertentu pada perilaku manusia.
Struktur konseptual dalam teori analisa sistem berada ditengah-tengah dua set variabel inti. Pertama adalah perhatian mendasar terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan systemic persistence, sumber stres, dan mode atau proses penanganan stres. Posisi sentral pada konsep persistence memunculkan sejumlah poin tambahan yang menjadi variabel esensial yang tanpanya sistem politik tidak mungkin ada. Kedua adalah konsep yang disebut Easton the summary variables. Dimana siklus ini melibatkan masukan (input) dari beragam lingkungan dalam bentuk permintaan dan dukungan, proses konversi, hasil (output), dan mekanisme kaitan balik (feedback) yang menginjeksi efek dan konsekuensi output kembali ke dalam sistem sebagai input.

Teori Struktural-Fungsional
Aliran struktural-fungsional berada dalam jangkauan perspektif teoretis dalam antropologi dan sosiologi yang merujuk pada hubungan aktivitas sosial terhadap sistem sosial secara keseluruhan. Penekanannya ada pada aspek institusi dan perilaku sosial yang kondusif terhadap stabilitas dalam masyarakat.
Istilah struktural-fungsional berasal dari antropologis Inggris dan sosiologis Amerika. Di Amerika Serikat, Talcott Parsons menerbitkan buku The Social System pada 1951, dimana tercantum, “The systematisation of theory in the present state of knowledge must be in structural-functional terms”.

Pada 1970-an, Gabriel Almond dan Bingham Powell memperkenalkan pendekatan struktural-fungsional untuk membandingkan sistem politik, dengan argumen bahwa untuk memahami sistem politik diperlukan pemahaman tidak hanya pada institusi (struktur), namun juga fungsi-fungsinya, dimana institusi harus ditempatkan dalam konteks sejarah yang berarti dan dinamis sehingga dapat dipahami dengan benar. Ide ini muncul sebagai negasi terhadap pendekatan umum dalam bidang perbandingan politik: teori masyarakat-negara (the state-society theory) dan teori ketergantungan (dependency theory), sebagai turunan dari teori sistem David Easton dalam hubungan internasional, sebuah pandangan mekanistik yang memandang semua sistem politik sama secara esensial, sebagai subjek dari hukum “stimulus-respons” yang sama (atau dengan kata lain input-output) dengan sedikit memperhatikan keunikan karakteristik dari sistem itu sendiri.

Pendekatan struktural-fungsional berdasarkan pandangan bahwa sistem politik tersusun atas beberapa komponen kunci, termasuk kelompok kepentingan, partai politik, dan cabang-cabang pemerintah. Dalam tambahan terhadap struktur, Almond dan Powell menunjukkan bahwa sistem politik juga terdiri atas fungsi, semisal sosialisasi, rekrutmen, dan komunikasi politik.
Kerangka kerja konseptual teori struktural-fungsional berada dalam pertanyaan:
“What structures fulfill what basic functions and under what condition in any given system?” (Struktur apa yang memenuhi fungsi dasar apa, dan dalam kondisi apa?)
Berdasarkan luasnya pengertian fungsi konsep, sejumlah perbedaan spesifik menjadi penting, namun secara umum berada diantara fungsional vs disfungsional. Menurut Robert Merton (dalam Oran R. Young: 1968, p. 29), “Functions are those observing consequences which make for the adaptation or adjustment of a given system; and dysfunctions, those obeserved consequences which lessen the adaptation or adjustment of the system.”

Perbedaan yang juga penting adalah antara fungsi nyata (manifest) dan tersembunyi (latent), dimana variabel kuncinya adalah maksud (intent) dan pengakuan (recognition).

4. Salah satu teori yang dipakai dalam mengkaji sistem politik adalah Teori Analisa Sistem, jelaskan apa yang dimaksud dengan teori tersebut, berikan ilustrasinya!
Jawab:

Teori Analisa Sistem menjadi suatu teori yang berusaha memandang kehidupan politik yang kompleks menjadi lebih sederhana dan mudah dipahami. Di dalamnya, suatu sistem politik dibedakan dari sistem yang lain dengan pendeskripsian unit dasarnya serta pemisahan unit-unit di dalam dan di luar sistem, dengan tindakan yang berhubungan dengan pengambilan keputusan yang mengikat masyarakat sebagai batas pembeda. Sesuatu juga baru bisa dianggap sistem jika memiliki pemberian kerja minimal yang memberikan struktur dalam tempat berlangsungnya kegiatan, dan adanya saling terkait antar sub sistem untuk keberlangsungan hidup di dalam sistem.

Contoh kasus yang dapat dianalisis menggunakan teori ini adalah pornografi di media massa yang muncul seiring lahirnya kebebasan pers. Adanya hukum permintaan-penawaran membuat pornografi hadir bagai jamur di musim hujan, misalnya saja media cetak bersampul model wanita dengan pose menantang, atau pakaian terbuka yang dikenakan para penari latar yang mengiringi penampilan artis-artis di televisi. Sebagian masyarakat yang tidak berkenan akan eksistensi media semacam ini dan mengecamnya sebagai perusak moral bangsa kemudian menuntut wakil rakyat untuk membuat Undang-Undang yang mengatur hal tersebut. Ketika DPR tampil dengan mempersembahkan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) kepada publik, muncul berbagai reaksi dari berbagai kalangan masyarakat. Sebagian pihak yang berpandangan bahwa pornografi dapat merusak moral bangsa memberikan dukungan disahkannya RUU APP menjadi UU APP dengan harapan UU APP dapat menjadi pengendali hukum untuk masalah pornografi. Namun tak sedikit pula yang menentang dengan beragam argumen – mulai dari budaya hingga ketidaktepatan konteks UU APP itu sendiri yang dianggap ambigu dalam mendefinisikan hal-hal yang berkaitan dengan pornografi. Respon-respon yang bertentangan ini kemudian dibahas kembali dalam beberapa kali sidang anggota DPR, sehingga RUU ini menghabiskan waktu yang relatif lama dalam proses menuju pengesahannya menjadi UU.


5. Gambarkan Struktur dan Fungsi Sistem Politik yang pernah anda pahami, serta jelaskan dengan rinci masing-masing elemen yang ada dalam struktur maupun dalam fungsi sistem politik.
Jawab:


Dalam diagram diatas terlihat bahwa infrastruktur politik memiliki fungsi-fungsi input, yang dijalankan oleh pihak-pihak yang berbeda. Dimulai dari fungsi artikulasi kepentingan (interest articulation) yang dilaksanakan oleh kelompok kepentingan, dilanjutkan dengan fungsi agregasi kepentingan (interest aggregation) oleh partai politik. Kemudian ada pula fungsi pendidikan politik dan seleksi kepemimpinan – juga dikenal sebagai sosialisasi politik dan rekrutmen politik, serta komunikasi politik, yang dijalankan oleh orsospol. Sedangkan suprastruktur politik memiliki tiga fungsi output; yaitu pembuatan aturan (rule making) yang dilakukan oleh badan legislatif dan eksekutif, penerapan aturan (rule application) oleh birokrasi, dan badan peradilan sebagai pelaku fungsi pemberian peradilan (rule adjudication).

Tuesday 3 October 2006

Mana yang Benar: Sistem Politik Indonesia atau Sistem Politik di Indonesia?

Bagi pihak yang menyamakan makna istilah Sistem Politik Indonesia dengan Sistem Politik di Indonesia, sistem politik harus memiliki kemampuan sekaligus dapat memelihara identitasnya dalam periode tertentu, dengan kemampuan tersebut selalu berada dalam wilayah tertentu meskipun tidak selalu dalam cakupan geografis. Maka dari itu Sistem Politik Indonesia diartikan sebagai Sistem Politik yang berlaku di Indonesia – dengan “Indonesia” sebagai penanda sifat dan kekhasan bagi sistem politik tertentu.

Selain itu, jika beberapa pihak menyatakan bahwa keberadaan kata hubung di berfungsi sebagai sisipan, maka ada pula unsur pembatas dimensi waktu dan makna tertentu yang mempersempit pengertian. Sehingga dari sisi ini, penggunaan kata hubung di dalam istilah Sistem Politik di Indonesia dapat merujuk pada suatu sistem yang pernah berlaku, sedang berlaku, atau berlaku selama eksistensi negara Indonesia. Maka apabila ada pengamat yang menafsirkan Sistem Politik di Indonesia sebagai Sistem Politik yang pernah berlaku di Indonesia, maka jelas tidak akan disinggung tentang Sistem Politik yang sedang berlaku, atau Sistem Politik yang berlaku selama eksistensi negara Indonesia.

Argumen lainnya adalah mengenai lingkungan intra-masyarakat yang berpengaruh pada Sistem Politik Indonesia, yang juga memuat landasan rohaniah bangsa, falsafah negara, doktrin politik, ideologi politik, dan sistem nilai. Sehingga imbuhan kata “Indonesia” dapat ditafsirkan dengan lebih luas dibandingkan imbuhan kata “di Indonesia” yang dapat ditafsirkan secara temporer dan berbeda-beda seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya.

Sistem Politik di Indonesia merupakan sistem politik yang berlaku di Indonesia secara kewilayahan, sementara Sistem Politik Indonesia berfungsi sebagai mekanisme sesuai dasar negara, ketentuan konstitusional, dan memperhitungkan lingkungan masyarakat secara nyata.
Dengan kata lain, dapat ditarik kesimpulan bahwa Sistem Politik di Indonesia memiliki penafsiran dengan cakupan yang lebih sempit sehingga dipilih jalan tengah dengan menggunakan istilah Sistem Politik Indonesia, yang dapat mengurangi kesalahpahaman sehingga lebih menguntungkan untuk digunakan karena memiliki penjabaran yang sifatnya lebih menyeluruh.

Monday 2 October 2006

Kekuatan Politik di Indonesia (Makalah)

Latar Belakang Permasalahan: Kekuasaan sebagai Asosiasi terhadap Kekuatan Politik

Sejak awal hingga perkembangan terakhir ada sekurang-kurangnya lima pandangan mengenai politik; salahsatunya adalah politik sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Maka yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah; apa yang dimaksud dengan kekuasaan?

Secara umum, kekuasaan disepakati sebagai kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan bertindak sesuai kehendak yang mempengaruhi, dan dilihat sebagai interaksi antara pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi.

Kekuasaan dipandang sebagai gejala yang selalu terdapat dalam proses politik, namun tidak ada kesepakatan mengenai makna kekuasaan diantara para ilmuwan politik. Beberapa menganjurkan untuk meninggalkan konsep kekuasaan karena bersifat kabur dan berkonotasi emosional, namun politik tanpa kekuasaan bagaikan agama tanpa moral.

Dalam perbendaharaan ilmu politik terdapat sejumlah konsep yang berkaitan dengan kekuasaan (power); seperti pengaruh (influence), persuasi (persuasion), manipulasi (manipulation), peragaan ancaman kekuasaan (coercion), penggunaan tekanan fisik (force), dan kewenangan (authority).

Dalam asosiasinya terhadap kekuatan politik, dapatlah ditarik benang merah bahwa tidak mungkin ada kekuatan – dalam hal apapun, bukan hanya politik – tanpa adanya kekuasaan. Maka dalam pembahasan mengenai kekuatan politik, pertama-tama kita perlu sedikit menguraikan konsep kekuasaan.

Begitu banyak pembahasan mengenai kekuasaan politik, namun tiga masalah utama yang selalu diamati oleh ilmuwan politik berkenaan hal ini adalah bagaimana kekuasaan dilaksanakan, bagaimana kekuasaan didistribusikan, dan mengapa suatu pihak tertentu memiliki kekuasaan lebih besar dari yang lain dalam situasi dan kondisi tertentu.

Indonesia, dalam 61 tahun pasca kemerdekaan, telah mengenal kekuatan politik dalam berbagai bentuk, baik formal maupun anomie, yang telah menempati berbagai posisi kekuasaan seiring waktu yang berjalan, dari mulai Revolusi Kemerdekaan sampai periode Reformasi, yang kesemuanya layak dibahas demi mencapai sebuah tujuan bernama pemahaman, karena pemahaman adalah titik awal untuk dapat mengevaluasi suatu objek pengetahuan.


Kekuatan Politik Indonesia: Masa Revolusi Kemerdekaan

Para penyelenggara negara pada awal periode kemerdekaan memiliki komitmen yang sangat besar terhadap mewujudkan demokrasi politik di Indonesia. Terdapat beberapa hal fundamental yang menjadi peletakan dasar demokrasi di Indonesia, sekaligus dapat dikatakan sebagai kekuatan-kekuatan politik di awal terbentuknya NKRI.

Pertama adalah political franchise yang menyeluruh, sejak kemerdekaan telah dinyatakan dari pemerintah kolonial Belanda, semua warga negara yang telah dianggap dewasa memiliki hal-hak politik yang sama tanpa diskriminasi berdasarkan ras, agama, suku, dan kedaerahan. Meskipun tidak berwujud konkrit, hal ini merupakan suatu kekuatan politik di awal kemerdekaan Indonesia yang bertujuan mendukung kehidupan berpolitik yang kondusif.

Kedua adalah Lembaga Kepresidenan, yang pada awal terbentuknya dapat dikatakan bersifat mutlak dan berpeluang menjadi suatu kediktatoran, sebelum Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) kemudian dibentuk untuk menggantikan parlemen, dan meninggalkan Presiden sebagai personifikasi kekuasaan.

Ketiga, adalah Maklumat Wakil Presiden nomor X (baca: eks) yang dikeluarkan pada 16 Oktober 1945 atas usul KNIP yang menyatakan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif sebelum terbentuknya MPR dan DPR, yang kemudian berkelanjutan hingga membentuk sistem pemerintahan parlementer. Seperti halnya poin pertama, Maklumat yang tidak bersifat konkrit sebagaimana halnya Lembaga Kepresidenan, tetap menjadi kekuatan politik yang berpengaruh, dalam hal ini adalah mengendalikan kekuatan politik lainnya (baca: Presiden) dari kemungkinan kediktatoran.


Kekuatan Politik Indonesia: Masa Pemerintahan Parlementer dan Demokrasi Terpimpin

Pada masa pemerintahan parlementer (1950-1959) yang berlangsung dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS), dapat dikatakan sebagai simbolisasi kejayaan demokrasi di Indonesia. Maka dari itu, kita tidak bisa tidak menyebutkan parlemen sebagai salahsatu kekuatan politik di Indonesia, yang pada masa itu tengah jaya-jayanya. Kejayaan parlemen pada masa pemerintahan parlemen didukung oleh sejumlah kekuatan politik; seperti kekuasaan parlemen terhadap kabinet lewat sejumlah mosi tidak percaya yang mengakhiri kabinet, akuntabilitas pemegang jabatan dan politisi yang sangat tinggi karena lembaga perwakilan rakyat (parlemen) berfungsi dengan baik, adanya pers sebagai instrumen politik sekaligus alat kontrol sosial, dan masyarakat umum yang dapat merasakan bahwa hak-hak dasar mereka tidak dikurangi sama sekali dengan adanya berbagai kebebasan termasuk kebebasan berpendapat tanpa rasa khawatir akan resiko keselamatan diri. Namun dominasi politik aliran yang membawa konsekuensi pengelolaan konflik, basis sosial-ekonomi yang masih sangat lemah, dan adanya persamaan kepentingan antara Presiden Soekarno dan kalangan Angkatan Darat yang sama-sama tidak senang dengan proses politik yang tengah berjalan saat itu, mengakibatkan berakhirnya masa pemerintahan parlementer, dan digantikan oleh Demokrasi Terpimpin.

Demokrasi Terpimpin dimulai pada 5 Juli 1959 setelah Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya adalah pembubaran Konstituante dan pemberlakuan kembali UUD 1945, dan memberi kesempatan pada Kepala Negara untuk mewujudkan gagasan politiknya dan memainkan peranan publik yang selama masa pemerintahan parlementer tidak dapat dilakukannya berkaitan dengan posisinya yang hanya menjadi simbolisasi kekuasaan. Di samping itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sebelumnya hanya berperan sebagai kekuatan politik oposisi, kemudian masuk dalam kekuasaan eksekutif dan menjadi salah satu aliansi yang sangat diperlukan oleh Soekarno. Di lain pihak, Angkatan Darat juga muncul sebagai kekuatan politik yang sangat kuat karena didukung oleh keadaan, karena sejak awal AD telah mengamati bahwa PKI merupakan ancaman yang membahayakan NKRI. Politik pada masa Demokrasi Terpimpin diwarnai oleh tarik-ulur yang sangat kuat antara tiga kekuatan politik yang utama pada saat itu; yaitu Presiden Soekarno, Partai Komunis Indonesia, dan Angkatan Darat.


Kekuatan Politik di Indonesia: Masa Orde Baru

Dalam model Modern Personal Rule yang diajukan William Liddle (1985) mengenai Indonesia Orde Baru, tampak bahwa kekuatan politik di Indonesia pada masa Orde Baru terbagi atas tiga jajaran utama: Presiden dengan segala atributnya, Angkatan Bersenjata, dan Birokrasi.

Dalam analogi piramida kekuatan politik, Lembaga Kepresidenan atau Presidency di Indonesia menempati puncak kekuasaan secara keseluruhan, menjadi primus inter pares – yang utama diantara yang setara – diantara lembaga tinggi negara yang lain seperti DPR, DPA, MA, dan BPK, sebagai konsekuensi kemampuan Presiden dalam mengontrol dan menggunakan political resources. Presiden mengontrol rekruitmen politik dalam negara, termasuk untuk jabatan lembaga tinggi negara, anggota badan legislatif serta judikatif, dan di kalangan Angkatan Bersenjata berkaitan dengan posisinya sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Selain itu, Presiden juga memiliki sejumlah financial resources yang didalamnya mengatur proses perumusan budgeting dan pendistribusian dana pembangunan nasional. Oleh karenanya, tidak heran jika proses politik, berjalan dengan sedikit banyak ditentukan oleh persepsi dan orientasi Lembaga Kepresidenan.

Dalam perjalanan politik Orde Baru, lembaga kepresidenan menjadi pusat seluruh proses politik yang berjalan di Indonesia, sebagai pembentuk dan penentu agenda sosial, ekonomi, dan politik nasional, dengan kekuasaan yang sedemikian besar dala rekrutmen opilitik dan sumber daya keuangan yang tidak terbatas, dan sejumlah hak khusus yang dimiliki Presiden seperti Mandataris MPR, Pemegang Supersemar, Bapak Pembangunan, dan Panglima Tertinggi ABRI.
Pada jajaran kedua adalah Angkatan Bersenjata – terutama Angkatan Darat – yang berperan penting terutama sebagai stabilisator dan dinamisator politik. Namun, prevalensi ABRI dapat juga ditemukan dalam berbagai bidang lain, seperti ekonomi, sosial-kemasyarakatan, termasuk olahraga dan kesenian. Dalam bidang politik, ABRI memainkan politik baik secara langsung maupun tdak, melalui organisasi sosial politik misalnya Golongan Karya. Peranan politik ABRI Orde Baru adalah sebagai pembentuk suasana yang baik, agar semua kebijaksanaan pemerintah dapat diwujudkan atau diimplementasikan dengan baik.

Sebagai kekuatan politik yang berfungsi untuk merealisir Demokrasi Pancasila, ABRI perlu memenuhi persyaratan pokok yaitu penerimaan dan kepercayaan masyarakat. Sementara itu, masalah utama yang berkenaan dengan penerimaan (legitimasi) masyarakat adalah bagaimana prosedur pengakuan itu berlangsung dalam proses kehidupan politik.

Yang terakhir namun tidak kalah pentingnya adalah birokrasi. Diungkapkan oleh William Liddle (1988), bahwa birokrasi Indonesia memiliki karakteristik khusus yaitu citra diri (self image) yang benevolence, sehingga birokrasi terdoktrinasi oleh persepsi diri sebagai pelindung, pengayom, pemurah, baik hati terhadap rakyatnya. Sementara itu, rakyat dianggap tidak tahu apa-apa alias bodoh, dan oleh karena itu, birokrasi berperan untuk “mendidik” masyarakat. Karena birokrasi adalah benevolence, maka sudah seharusnya bagi rakyat untuk patuh, taat, dan setia terhadap pemerintahnya. Pola hubungan benevolence-obedience ini menjadi dominan dalam mewarnai interaksi antara pemerintah dan masyarakat di Indonesia.

Sementara itu, perjalanan politik Indonesia juga menunjukkan kecenderungan kuat bahwa birokrasi sebagai instrumen politik suatu rezim tampak jelas sejak masa kolonial. Sedangkan pada masa pasca-kemerdekaan, birokrasi mengalami proses politisasi sekaligus fragmentasi. Sekalipun jumlahnya tidak terlalu besar, aparat pemerintah bukanlah suatu organisasi uang menyatu karena telah terbagi-bagi dalam partai politik yang bersaing dengan sangat intesnif guna memperoleh dukungan. Hal itu tentu saja sangatlah tidak sehat karena peranan ideologi masing-masing partai meningkatkan proses fragmentasi yang sangat tinggi. Arah gerak birokrasi pun masih mengalami polarisasi yang sangat tajam dengan mengikuti arus polarisasi politik masyarakat, sementara partai-partai politik memiliki peranan politik yang sangat terbatas yang mengakibatkan politisasi birokrasi tidak mengalami intensitas yang tinggi dibanding masa sebelumnya.

Akan tetapi, secara keseluruhan kekuatan-kekuatan politik di masa Orde Baru dapat pula dikategorikan kedalam tiga golongan seperti yang dijelaskan dibawah ini:

Golongan radikal, yang menghendaki supaya kesempatan tidak diberikan kepada mereka yang berkolaborasi dengan Orde Lama. Pemuka-pemuka kelompok ini terutama dari kalangan yang condong ke Barat dalam mengambil contoh untuk mengatur kehidupan politik dan ekonomi Indonesia, misalnya para pemuka partai yang dilarang oleh rezim Orde Lama – seperti Masyumi dan PSI – terhadap pembersihan Orde Baru dari pengaruh Orde Lama, yang intinya adalah penjauhan Orde Baru dari segala usaha yang telah dicoba oleh Soekarno.

Sementara golongan konservatif, yang lebih diwarnai oleh politik sipil, juga menghendaki pembersihan sisa-sisa rezim Orde Lama, namun menghendaki peranan besar dalam politik Indonesia.

Maka golongan moderat muncul dengan jalan tengah; melalui tradisi cara penyelesaian khas Indonesia, maka setahap demi setahap Soeharto memperkecil peranan politik Soekarno sampai munculnya Tap MPRS bulan Maret 1967 yang mengakhiri peranan Soekarno dalam kehidupan politik Indonesia.


Kekuatan Politik di Indonesia: Pasca Orde Baru

Pasca Orde Baru, politik di Indonesia mendapati adanya tiga kekuatan raksasa yang, dengan posisi dan porsinya masing-masing, berperan penting dalam kehidupan politik di Indonesia.

Yang pertama adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Sejak lama ABRI merupakan kekuatan politik yang paling kuat karena dwifungsinya berhasil meneruskan karisma TNI sebagai pejuang kemerdekaan RI dan telah disinambungkan oleh Bung Karno dan Presiden Soeharto dan terpaksa dilanjutkan oleh Presiden Habibie.

ABRI ini mempunyai kekuatan yang paling dahsyat karena historinya, karena sudah merupakan establishment yang tidak bisa digoyang-goyang, dan karena organisasi dan disiplinnya yang canggih. Tidak ada kekuatan politik lain yang mempunyai kinerja a la ABRI yang modern. Di atas kesemuanya itu di Indonesia ini hanya ABRI mempunyai sistem kerjasama internasional baik dengan Israel secara tertutup dan dengan DIA (Defense Intelligence Agency) Pentagon secara terbuka, untuk tidak menyinggung CIA yang terlalu sensitif.

Kekuatan kedua adalah Muslim. Dalam hal ini kita memerlukan sedikit pendalaman mengingat pluralisme Islam di Indonesia. Namun secara umum, masyarakat muslim Indonesia mengenal Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

NU adalah gerakan ulama-ulama Islam di Indonesia yang dipelopori KH. Wahid Hasyim Asyari. Melalui lembaga pendidikan pondok pesantren, NU berhasil menanamkan semangat dan watak anti kolonialisme dengan berpegang pada ajaran Islam, memelihara semangat ahlussunah wal jamaah, dan menggalang persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia khususnya umat Islam. Dalam perjalanan sejarah, tampak jelas keikutsertaan NU dalam kancah politik formal. Sejak didirikan pada 1926, NU tampil sebagai organisasi sosial keagamaan, bahkan pada pemilu pertama tahun 1955, NU termasuk empat besar parpol pemenang pemilu. Karena kekuatan kharismatis kyai dalam organisasi ini sangatlah besar sehingga menjadi ketaatan yang sulit ditolak – istilahnya “kami dengar dan kami taat” – komando dikuasai oleh pimpinan organisasi. Pasca Orde Baru, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi pengejawantahan partisipasi NU dalam kancah politik Indonesia.

Sementara itu, Muhammadiyah yang didirikan KH. Ahmad Dahlan pada 1912 telah menjadi organisasi keagamaan yang memberi saham secara nasional – terutama karena ikut mendewasakan kemerdekaan dan membangun bangsa Indonesia. Peranannya dalam gerakan nasional sangat strategis mengingat pendidikan yang diembannya memangun masyarakat dalam kultur, peradaban, dan akidah, kendati ketiganya merupakan hal monumental untuk dimodernisasikan. Muhammadiyah turut pula berperan dibalik eksistensi Partai Amanat Nasional (PAN) yang dimotori Amien Rais.

Sebagai “gerakan lama”, NU dan Muhammadiyah telah memiliki tempat tersendiri dalam masyarakat Indonesia. Namun demikian, reformasi di segala bidang turut mendorong tumbuhnya ormas-ormas Islam baru.

Salahsatu diantaranya adalah paham Ikhwanul Muslimin (IM), yang dimulai oleh Imam Al Banna di Ismailiyah di awal abad ke-19. Bagi IM, partai politik apapun dapat berdiri dengan nuansa kedaerahan masing-masing namun harus tetap berpedoman pada Al Quran dan Al Hadis. Di Indonesia, idealisme ini kemudian diadopsi dan diimplementasikan oleh Partai Keadilan Sejahtera.

Selain itu, muncul pula fenomena lain yang merupakan format baru dari gerakan politik Islam, yaitu munculnya kelompok Islam “garis keras” –suatu istilah buatan Barat yang sebenarnya kurang tepat, tapi terpaksa digunakan disini untuk kepentingan identifikasi. Kelompok ini berada diluar partai politik (non partisan). Tapi mereka memiliki kesadaran dan kepedulian sosial-politik yang sangat tinggi. Mereka secara aktif menjadi “pressure group” untuk kepentingan politik Islam, terutama menyangkut penegakan syariat Islam. Yang paling populer dari kelompok ini adalah HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) dan FPI (Front Pembela Islam). Posisi mereka dianggap signifikan karena selain memiliki kader-kader yang cukup terdidik dan militan, juga karena terdapat kecenderungan rekruitmen anggota kelompok ini terus berjalan.

Kekuatan ketiga adalah kekuatan baru yang laten (tersembunyi): Proletar. Mungkin istilah ini merupakan kejutan dahsyat bagi para anti-komunis dan golongan allergis-Marxist. Proletar Indonesia harus diakui merupakan mayoritas, namun mereka tidak mempunyai organisasi, tidak mempunyai pemimpin, tidak mempunyai ideologi, tidak mempunyai apapun kecuali baju yang melekat di tubuhnya. Kita sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa peristiwa Mei yang hanya terjadi di satu kota, Jakarta, begitu menakutkan sehingga penduduk asing dan keturunan Cina berlarian ke luar negeri. Padahal ini baru sebagian kecil yang sporadis. Kita tidak bisa membayangkan kalau terjadi serempak jangankan di seluruh Indonesia, di Jawa saja akan cukup menggegerkan dunia a la letusan Gunung Krakatau. Memang lebih tepat Proletar Indonesia ini disebut Gunung Krakatau yang aktif tapi tidur, yang kalau sudah bangun mempunyai kekuatan dahsyat yang destruktif.

Satu-satunya jalan untuk menenangkan Proletar adalah mencukupi sandang pangannya justru dalam masa kritik seperti sekarang ini. Inilah tugas mission impossible dari kekuatan politik formal yang lain, yang harus bahu membahu mencegah dan mengamankan potensi destruktifnya Proletar, tapi juga tidak menambah kekecewaan, menambah lapar mereka.
Tampaklah bahwa di antara ketiga kekuatan itu ABRI yang paling unggul hingga diduga akan mampu memelihara keamanan dan ketertiban nasional. Namun menurut sejarah dan pengalaman kita, politik itu paling unpredictable. Dalam sekejap bisa terjadi yang selama ini dianggap inconceivable (mustahil). Kalau Muslim fundamentalis masih predictable karena para pemimpinnya masih bisa "dipegang", maka Proletar yang tidak berideologi dan tidak punya pemimpin akan menjadi massa yang tidak bisa di-tackle kalau sudah terlanjur bergerak bangun dari tidurnya.


Kekuatan Politik di Indonesia: Kekuatan Politik Anomie

Membicarakan kekuatan politik anomie tidak bisa lepas dari mahasiswa dan angkatan muda, namun diantara keduanya terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Angkatan muda disebut demikian karena kategori usia mereka tanpa memandang tingkat pendidikan, sementara mahasiswa merupakan bagian angkatan muda yang menempuh pendidikan tinggi.

Mahasiswa sebagai komponen universitas mempunyai kesempatan untuk terlibat dalam pemikiran, pembicaraan, dan penelitia tentang berbagai masalah, yang mana kesempatan tersebut tidak dimiliki oleh angkatan muda pada umumnya, sehingga mahasiswa termasuk yang terkemuka dalam memberi perhatian pada masalah-masalah yang dihadapi masyarakat secara nasional. Bagaimanapun mahasiswa dijegal oleh beragam aturan dalam kampus, mereka tetap merupakan kekuatan politik yang besar, sehingga para elit kekuasaan memenfaatkan mahasiswa untuk menjatuhkan penguasa.

Beberapa karakteristik mahasiswa yang menjadi faktor pendorong bagi meningkatnya peran mereka dalam kehidupan politik angkatan muda misalnya:

Pertama, sebagai kelompok masyarakat dengan pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horizon yang luas diantara keseluruhan untuk lebih mampu bergerak diantara pelapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang diantara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik di kalangan mahasiswa, sehingga universitas kentara bermakna sebagai pembentukan akulturasi sosial dan budaya pada angkatan muda. Keempat, mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise dalam masyarakat, dengan sendirinya merupakan elit dalam kalangan angkatan muda. Dan kelima, meningkatnya kepemimpinan mahasiswa di kalangan angkatan muda tidak terlepas dari perubahan kecenderungan orientasi universitas.

Satu hal yang perlu diperhatikan dalam proses politik di Indonesia saat ini adalah bahwa selain sebagai saluran mengetengahkan situasi dan keinginan masyarakat, aktivitas politik mahasiswa – yang terjun ke arena politik ketika terjadi situasi anomie yang kuat di masyarakat – dilihat pula sebagai salahsatu ukuran kepuasan masyarakat.

Dua kekuatan politik lain yang tak kalah besar adalah pers dan pengusaha.

Pers, sebagai pembentuk opini publik lewat media-media yang mereka gawangi, juga dapat dikategorikan sebagai salah satu kekuatan politik di Indonesia. Pers dianggap sebagai kekuatan yang dianggap berpengaruh, saking kuatnya pengaruh pers sehingga di masa Orde Baru dikenal Departemen Penerangan yang menjegal kekuatan politik pers dan kebebasan mereka.

Sementara pengusaha, sebagai pelaku pasar yang dapat memanfaatkan isu dan sebagai sumber utama pemungutan pajak, menjadi dekat dengan pemerintah. Dalam hal ini terjadi siklus dimana pengusaha menjadi financial supporter bagi bakal calon Gubernur, Walikota, atau Bupati, dengan cara mempengaruhi para aparat legislatif dengan politik uang sebelum pemilihan diadakan. Uang yang mereka keluarkan dianggap sebagai investasi yang akan terbayar ketika calon mereka telah menduduki kekuasaannya dan dapat membantu mereka memenangkan tender berbagai proyek raksasa. Itulah sebabnya orang kaya di Indonesia itu-itu saja, dalam arti kekayaan mereka tersebut tidak memberikan manfaat besar pada masyarakat umum (trickle down theory).


Sumber Kekuatan Politik dalam Demokrasi Pancasila

Setelah menganalisis secara sederhana tentang Kekuatan Politik di Indonesia, sepertinya kurang lengkap jika kita tidak menyebutkan tentang sumber-sumber dari kekuatan politik itu sendiri. Meskipun dalam beberapa literatur Demokrasi Pancasila secara implisit ditafsirkan sebagai nama lain Orde Baru, yang senantiasa menggunakan Pancasila sebagai propagandanya, kami menganggap prinsip-prinsip sumber kekuatan politik yang akan disebutkan ini masih relevan dengan keadaan dewasa ini. Berikut adalah sumber-sumber kekuatan politik dalam Demokrasi Pancasila.

1. ABRI; yang tetap konsisten terhadap Sumpah Prajurit Sapta Marga sehingga seluruh jajaran Angkatan Bersenjata mempunyai kesatuan dan kekompakan yang kuat untuk menopang kelanjutan dan kesinambungan Sistem Politik Indonesia.
2. Pancasila; sebagai ideologi bangsa Indonesia yang ditetapkan sejak sidang PPKI 18 Agustus 1945.
3. UUD 1945; sebagai aktualisasi dari pernyataan kemerdekaan Indonesia yang mengikat seluruh rakyat Indonesia secara konstitusional.
4. Rakyat Indonesia; yang memiliki kesadaran dan toleransi yang cukup tinggi karena karakteristiknya sebagai bangsa yang ramah tamah.
5. Bangsa Indonesia; yang mengutamakan persatuan dan kesatuan daripada perpecahan, menghargai adanya ketegakan demokrasi dalam segala sendi kehidupan bermasyarakat, dan kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
6. Sistem sosial dan Sistem Budaya Indonesia; yang lebih menunjang terhadap terwujudnya keamanan dan ketertiban karena prinsipnya yang saling memperhatikan dan memajukan.
7. Kesadaran generasi muda intelektual; baik dalam kepedulian terhadap masalah-masalah sosial maupun keinginan meningkatkan kualitas dirinya.
8. Sumber daya alam di Indonesia; yang tersedia melimpah dan menantikan pengolahan secara efektif untuk kesejahteraan rakyat.



Penutup

Kesimpulan
Seiring berjalannya waktu sejak pasca proklamasi kemerdekaan hingga era reformasi, Indonesia lahir dan berkembang sebagai negara dan bangsa dengan berbagai kekuatan politik didalamnya. Ada yang eksistensinya hanya bertahan seumur jagung dan hilang seiring zaman yang bergulir, ada pula yang bertahan dari dulu hingga sekarang.

Kekuatan politik pada dasarnya adalah simbol dari suatu rezim yang tengah berlangsung, namun tentu saja setiap rezim mengikuti peribahasa patah tumbuh hilang berganti – ketika suatu rezim berakhir, ada rezim baru yang akan menggantikannya, sehingga secara tidak langsung diperlukan adaptasi terhadap perubahan sosial secara terus menerus. Hal itu dapat dilakukan lewat pengenduran depolitisasi, peningkatan kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum, dan mewujudkan desentralisasi yang nyata kepada daerah-daerah. Sifat adaptatif juga diperlukan dalam pelaksanaan dwifungsi ABRI, karena bila tidak demikian maka dikotomi antara sipil dan militer akan semakin tajam.

Saran
Kadangkala kita terlalu mengandalkan kekuatan dari self willingness atau keinginan diri sendiri ketika kita membicarakan tentang langkah apa yang harus diambil untuk penyelesaian suatu masalah. Hal tersebut tidaklah salah, karena segala sesuatu haruslah dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu. Namun tentu saja hal yang demikian tidak bisa diandalkan sepenuhnya jika tidak ada kontribusi lain selain dari diri sendiri, karena seperti yang telah kita lihat dalam analisis makalah sederhana ini, segala kekuasaan tetap memerlukan dukungan pihak-pihak lain selain diri si penguasa itu sendiri.


Daftar Pustaka

Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Sanit, Arbi. 1987. Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Rajawali Press
Sukarna. 1992. Sistem Politik Indonesia III. Bandung: Mandar Maju.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.
Syafiie, Inu Kencana & Azhari. 2005. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Refika Aditama

Sumber Elektronik

http://www.prd-online.or.id/pbb/index.php?option=com_content&task=view&id=271&Itemid=2 (diakses 30 September 2006)
http://groups.google.co.id/group/alt.culture.indonesia/browse_thread/thread/5e32de06243d0a95/11536559bfc7beb8%2311536559bfc7beb8 (diakses 30 September 2006)
http://www.google.com/search?q=cache:Auh8-gnYtIoJ:www.dilibrary.net/images/topics/aziz%2520qahhar.pdf+kekuatan+politik+di+indonesia&hl=id&gl=id&ct=clnk&cd=16 (diakses 30 September 2006)